Selamat Datang
Kamis, 20 Januari 2011
Relawan Terlama di Wasior
OLEH DWI BAYU RADIUS
Waktu Hasruddin (24) terkena malaria, relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Papua Barat itu menolak untuk pulang. Padahal, koordinator lapangannya di Wasior, Papua Barat, sudah menginstruksikan agar Hasruddin kembali ke rumah. Ketika sakitnya tambah parah dan muntah darah, ia baru menyerah.
Kalau soal loyalitas kepada tugas, warga Manokwari itu memang benar-benar keras kepala. Ketika terkena malaria akhir November 2010 lalu, misalnya, rekan-rekannya di PMI yang iba meminta Hasruddin beristirahat. Bahkan, mereka juga menyediakan tiket pesawat ke Manokwari untuknya.
Bukannya menurut, Hasruddin malah balik memarahi mereka dengan alasan tugas belum selesai. Padahal, ia sudah terkena demam, sakit kepala, bahkan muntah-muntah. ”Itu termasuk masa paling berat selama saya bertugas di Wasior. Saya mau istirahat di posko PMI Wasior saja,” katanya.
Kurang dari sepekan dirawat, ia sudah bertugas lagi. Tak ayal, relawan-relawan lain pun hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kegigihan Hasruddin. Akhir Desember 2010, ia baru bersedia pulang setelah muntah darah.
”Sekarang masih diperiksa. Belum tahu sakitnya, tuberkulosis atau apa. Tetapi, nanti kalau sudah sehat, saya mau kembali lagi ke Wasior,” tegasnya, awal Januari lalu.
Hasruddin memutuskan bertahan di lokasi bencana sejak banjir bandang terjadi di Wasior pada Oktober 2010. Dia menjadi relawan paling lama yang bertugas di sana. Keesokan hari setelah banjir bandang terjadi, ia sudah berada di Wasior.
Sebelum sakit paru-paru, dia hanya tiga kali pulang ke Manokwari. Setiap kali pulang, paling lama dia tinggal seminggu di Manokwari, lalu kembali ke Wasior. ”Setahu saya, teman-teman relawan lembaga lain sudah pulang. Umumnya, mereka di Wasior hingga tanggap darurat selesai,” katanya.
Mendata dengan hati
Masa tanggap darurat berlangsung sejak banjir terjadi hingga 17 Desember 2010. Relawan PMI yang datang pertama kali hanya empat orang, termasuk Hasruddin. Jumlah relawan PMI mencapai puncaknya pada pekan keempat Oktober lalu sebanyak 27 orang. Pada akhir Desember 2010, jumlahnya 20 orang. Adapun masa pascatanggap darurat jauh lebih lama, hingga satu tahun setelah bencana.
”Kalau sampai selama itu harus bertugas, saya tidak keberatan, malah inginnya begitu,” tutur Hasruddin sambil tersenyum. Keakraban dengan warga dan pengungsi menjadikan pengorbanan seakan tak menjadi beban. Rasa berat hati justru muncul ketika mereka tahu relawan akan pulang.
”Kalau melihat wajah mereka yang bertanya kenapa kami harus pergi, rasanya suka kasihan. Pernah saya pergi tanpa memberi tahu mereka,” ujar Hasruddin. Raut muka pengungsi dan warga seolah menunjukkan bahwa mereka masih membutuhkan bantuan.
Menjadi relawan bukan pekerjaan mudah. Risiko dimaki pengungsi, meski bermaksud untuk menolong, kerap harus ditanggung. Di Wasior, sebagian pengungsi marah karena distribusi bantuan yang tidak merata. Sejumlah pemberi bantuan memberikan barang begitu saja kepada kepala kampung.
”Lalu, ada di antara mereka yang tidak mendapat bantuan. Relawan lain yang kemudian datang dan bermaksud benar-benar membantu, dianggap tak berbeda dan tak berguna bagi korban,” katanya. Kadang-kadang, Hasruddin dan rekan-rekannya harus bersusah payah memberi penjelasan.
”Untungnya, umumnya korban bencana akhirnya mengerti. Masalah itu juga kami atasi dengan cara yang saya istilahkan sebagai mendata dengan hati,” katanya.
Pendataan korban yang akan diberi bantuan dilakukan dari pintu ke pintu, melakukan tatap muka, memberikan senyuman, dan mendengarkan keluhan. ”Kami mendata sendiri supaya tahu kondisi korban yang benar-benar memerlukan bantuan,” katanya.
Kalaupun memperoleh data dari pihak lain, seperti dari kepala kampung, data itu dicek langsung dengan mendatangi para korban. ”Kalau mereka sudah mengucapkan terima kasih dengan tulus, saat itulah saya rasanya merinding dan muncul kepuasan batin,” ungkapnya. Pada umumnya, para pengungsi yang semula bersikap dingin, kemudian mulai tersenyum. Bahkan, bisa berkaca-kaca jika tahu bahwa relawan yang sudah dikenal dengan baik selesai bertugas.
Pengalaman paling berkesan dengan pengungsi, Hasruddin alami ketika dia sempat pulang ke Manokwari, akhir November 2010. Ia bertemu anak-anak di pengungsian di kota itu. Meski sedang pulang, Hasruddin tetap ikut membantu rekan-rekannya. ”Waktu anak-anak itu harus ke Wasior, sambil menangis mereka bilang ’kakak saya pulang dulu’. Sedih betul, hampir saya tak tahan untuk ikut menangis,” kenangnya.
Selama masa tanggap darurat, relawan PMI bertugas mengevakuasi korban luka dan jenazah, mendata, dan memberikan pelayanan kesehatan. Mereka juga berupaya memenuhi kebutuhan nonpangan pengungsi, seperti tenda, selimut, tikar, dan alat masak. Setelah masa tanggap darurat berlalu, barulah relawan melakukan aktivitas seperti pemulihan hubungan keluarga, pengalihan beban pikiran dan trauma, dan pembersihan sumber air.
Ingin kuliah
Sebagai relawan, panas, debu, dan risiko terkena penyakit di daerah bencana sudah pasti mengintai. Relawan PMI pun hanya mendapat Rp 60.000 per hari. Tetapi, Hasruddin memang tak terlalu berharap pada materi karena mengemban tugas kemanusiaan. Ia malah selalu meminta perpanjangan masa tugas. Rentang waktu relawan bekerja adalah dua minggu selama tanggap darurat atau satu bulan setelah masa itu selesai dan bisa diperpanjang.
”Relawan nyaris tak dapat apa-apa. Kami mendapatkan pelatihan gratis bukan untuk materi, tetapi pengetahuan. Menurut saya, itu paling berharga,” katanya. Pelatihan yang diberikan bermacam-macam, seperti korps sukarela dasar, program dukungan psiko-sosial, dan pemulihan hubungan keluarga.
Sudah sejak kelas II sekolah menengah atas, Hasruddin mulai menekuni kegiatan sosial tersebut. Ketika itu, ia bergabung dengan Palang Merah Remaja (PMR) di sekolahnya, SMA Negeri 2 Manokwari. Motivasi awal mengikuti PMR tak lain karena Hasruddin tergerak untuk membantu orang lain.
”Saat itulah mulai tertanam keinginan untuk menjadi relawan. Malah, setelah SMA, saya tadinya mau meneruskan ke perguruan tinggi, tapi tidak jadi,” katanya.
Setelah tamat SMA, dia sudah berniat kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Manokwari. Namun, panggilan tugas ke Padang dan Bandung pada Mei 2010, tak bisa ia tampik. ”Meski demikian, suatu hari nanti saya tetap ingin melanjutkan pendidikan formal,” tuturnya.
Sumber : Kompas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar