Selamat Datang

Jumat, 03 Februari 2012

Video Inspirasi "Susan Boyle"



Pengamat musik ternama, Simon Cowell, dan banyak penonton lainnya boleh saja tertawa, meremehkan, dan mencemooh. Itulah agaknya yang terjadi ketika Susan Boyle tampil di atas panggung acara Britain’s Got Talent. Ini adalah ajang pencarian bakat penyanyi versi Inggris yang ditayangkan televisi.

Boyle adalah perempuan berusia 47 tahun dengan tubuh gemuk. Dia beralis tebal seperti Leonid Breznev dan berparas biasa-biasa saja. Dandanannya pun sederhana. Pokoknya sangat jauh dari gambaran calon idola yang biasa muncul di tayangan-tayangan televisi mana pun.

Perempuan asal Blackburn, gabungan beberapa desa di wilayah Wesy Lothian, Skotlandia, itu memang muncul seperti umumnya orang kampung. Lugu, tetapi tampak percaya diri.
Cowell menanyainya dengan sinis, ”Ke mana saja selama ini dan mengapa baru ikut ajang ini sekarang?”

Boyle yang mengaku belum menikah, bahkan belum pernah dicium seorang pria, itu menjawab dengan penuh rasa percaya diri. ”Selama ini saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk tampil dalam acara pencarian bakat seperti ini.”

Cowell bertanya lagi. ”Anda ingin menjadi seperti siapa?”

Boyle dengan penuh gaya mengatakan ingin menjadi seperti Elaine Paige, aktris sekaligus penyanyi terkenal Inggris yang kiprahnya sangat diakui pada pertunjukan teater musikal. Dia pun menggoyang-goyang pinggulnya yang besar untuk meyakinkan Cowell yang memandangnya dengan ”sebelah mata” pada awalnya.

Akan tetapi, ketika dia mulai menyanyikan lagu I Dreamed a Dream yang diambil dari kisah drama musikal Les Miserables, semua mata pun terbelalak, termasuk ketiga juri Britain’s Got Talent malam itu, yaitu jurnalis dan pembaca acara televisi Piers Morgan, aktris Amanda Holden, dan Simon Cowell. Sejumlah penonton yang berada di studio pun spontan bertepuk tangan sambil berdiri, memuji tinggi-tinggi suara Boyle yang memang sangat apik dan enak didengar.

Cowell yang biasanya terlihat tak acuh pun, malam itu, meletakkan kedua tangan untuk menopang dagunya. Beberapa kali dia menggelengkan kepala, seolah tak percaya dengan ”keajaiban” dari sambutan itu.

Melalui suaranya yang bening bak penyanyi opera, jalan hidup Boyle yang semula tak punya pekerjaan itu langsung berubah setelah penampilan di ajang calon idola versi Inggris itu.

”Tidak diragukan, ini adalah kejutan terbesar yang pernah saya dapatkan selama tiga tahun saya berada di acara ini. Ketika Anda berdiri di sana dan mengatakan, ’saya ingin menjadi seperti Elaine Paige’, semua orang menertawai Anda. Sekarang, tak seorang pun tertawa. Anda sangat memukau dan tampil luar biasa. Saya terduduk lemas karena terharu,” ungkap juri Piers Morgan.

Amanda Holden pun menimpali, ”Saya pun amat terpukau karena saya tahu semua orang menolak Anda. Saya sejujurnya berpikir bahwa kita semua sudah sangat sinis dan saya rasa inilah sebuah peringatan terbesar. Dan, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sepenuhnya merasa terhormat mendengar Anda tadi menyanyi.”

Simon Cowell pun tidak bisa lagi mengelak dan sambil menahan tawa dia mengatakan, ”Sejak awal Anda berjalan ke panggung, saya tahu. Ada sesuatu yang luar biasa dalam diri Anda.”

Tentu saja komentar Cowell yang di luar kebiasaannya itu langsung disambut riuh para penonton di studio. Sementara Boyle tampak sangat gembira dan puas sekali dengan sambutan para juri dan penontonnya itu.

Umur, asal-muasal keluarga yang tidak istimewa, penampilan yang kurang menarik, bukan hambatan. Boyle dianugerahi keistimewaan yang lain, yaitu suara soprannya.

Pemunculan Boyle dalam acara ajang pencarian idola versi Inggris itu juga menjadi peringatan bagi para pengelola ajang sejenis lainnya di berbagai negara untuk tidak meremehkan siapa saja. Umumnya, ajang sejenis itu membatasi umur peserta dan lebih memfavoritkan penampilan fisik calon idola.

Seperti ditulis The Telegraph, Boyle secara konsisten telah menunjukkan kepercayaan dirinya yang alami, baik di belakang panggung, di atas panggung, maupun setelah turun dari panggung. Tak ada tanda-tanda keraguan dan gugup, yang memang tidak perlu karena dia memiliki suara emas.

Kamis, 02 Februari 2012

Inspirasi "Namanya Ucup"


Pertama kali aku melihatnya dari jendela kamarku yang kebetulan menghadap sebuah Sekolah Dasar Negeri. Aneh tapi nyata, sebuah SD Negeri terletak di dalam kompleks perumahan yang cukup elit. Bangunannya sederhana hanya terdiri dari 6 ruang kelas ditambah 1 kantor guru. Tidak ada halaman. Makanya kegiatan bermain, olah raga ataupun upacara bendera dilakukan di jalanan kompleks, persis di depan pagar rumahku.

Di situlah aku pertama kali melihatnya, sedang berdiri di depan tiang bendera. Kepalanya setengah menengadah. Sebelah tangannya menaungi wajah dari silau matahari siang. Beberapa anak yang lebih kecil berkeliling di dekatnya sambil menyoraki. Rasa penasaran yang kemudian membuatku beranjak ke halaman dan menyapa seorang anak yang sedang bersandar di pagar rumahku.

"Dek, anak itu kenapa?" tanyaku sambil menunjuk anak di bawah tiang bendera.

Anak yang kusapa kelihatan kaget. Matanya memicing sejenak melihatku lalu menjawab sambil lalu, "Disetrap."

"Emang kenapa?"

Anak itu menoleh lagi. Mungkin heran melihat kecerewetanku.

"Dia nakal?" tanyaku lagi

"Iya. Berantem dengan kelas 6. Kepala anak kelas 6 itu bocor dijedukin ke tembok."

Setengah tak percaya aku memperhatikan anak yang masih berdiri di bawah tiang bendera. Perawakannya kecil. Lebih tepat dibilang ceking. Taksiranku dia paling baru kelas 3. Kok bisa berantem dengan anak kelas 6?

"Namanya siapa?"

"Siapa?" anak yang kutanya malah balik bertanya.

Aku menunjuk anak yang kumaksud dengan daguku.

"Ucup," anak itu menyahut singkat, lalu berlari ke arah teman-temannya yg sedang main bola.

Sejak itu aku jadi sering memperhatikannya. Hampir tiap pagi dia tiba di sekolah dengan berlari-lari. Seringkali bel sudah keburu berdentang dan akibatnya dia tak boleh masuk kelas. Kalau sudah begitu biasanya kulihat dia bermain-main sendiri di jalanan. Mengejar-ngejar mobil lewat atau mengganggu tukang-tukang jualan.

Dari Ibu-ibu yang biasa nongkrong menunggui anak-anaknya aku tahu kalau Ucup adalah trouble maker di sekolah. Mestinya dia sudah kelas 4. Tapi dua tahun tidak naik kelas, jadi sekarang baru duduk di kelas 2. Tukang berkelahi, selalu terlambat, suka nyolong, suka ngomong jorok, dan masih banyak cerita tak sedap yang membuatku miris.

Pemandangan Ucup berdiri di bawah tiang bendera pun menjadi hal rutin yang kusaksikan hampir tiap hari dari jendela kamarku. Tapi sampai sejauh ini hanya itu saja yang kulakukan. Memperhatikannya dalam diam di balik jendela.

Lalu suatu ketika rutinitas itu hilang. Tiba-tiba aku tak pernah melihatnya lagi berlari-lari supaya tidak terlambat masuk kelas, atau disetrap di bawah tiang bendera. Seorang anak yang kutanyai mengatakan bahwa Ucup sudah dikeluarkan dari sekolah karena untuk ketiga kalinya tidak naik kelas, disamping karena guru-guru sudah kewalahan menghadapi kenakalannya.

Seperti ada rasa yang hilang, tapi cepat tergantikan oleh kesibukan dan waktu yang berjalan.

Sampai suatu ketika aku melihatnya lagi. Kali ini tengah mendorong sebuah gerobak dan mengorek-ngorek tempat sampah di depan rumahku. Lagi-lagi rasa penasaran membuatku memburunya ke depan.

"Kamu Ucup kan?" tanyaku sehalus mungkin, tapi tak urung membuatnya terkejut.

"Kamu dulu sekolah di situ kan?"

Ketika raut terkejutnya hilang, ia balik menatapku dengan sorot menantang. Tutup tong sampahku dibantingnya hingga bergedombrangan. Beberapa cup bekas minuman kemasan yang baru dia ambil dilemparnya ke dalam gerobak.

Aku sedikit terkejut melihat kekasarannya. Tapi sudah kepalang basah.

"Kenapa kamu gak sekolah lagi?"

Tiba-tiba ia meludah ke tanah. Lalu kembali menatapku, kali ini dengan sinis. "Cina!" umpatnya kasar lalu mendorong gerobaknya menjauh, meninggalkanku terpana.

Tanganku terasa gatal ingin menampar mulutnya. Apa haknya mengataiku bahkan meludah di depanku. Aku cuma bertanya baik-baik. Itupun karena rasa simpati yang tak terbendung.

Tapi yang kulakukan kemudian malah diluar dugaanku sendiri. Aku tak tahu ini namanya tolol atau nekat, tapi aku mendapati diriku sedang mengikuti anak tak tahu adat itu. Aku tahu hari sudah sore, dia pasti sudah mau pulang. Aku jadi ingin tahu dimana rumahnya, seperti apa keluarga yang membesarkannya sampai dia jadi seperti itu.

Rasanya aku sudah seperti seorang detektif yang sedang mengikuti buruannya diam-diam dari jauh. Aku melihat dia keluar dari gerbang kompleks, lalu menyusuri jalan raya dan berbelok di sebuah gang kecil. Terus menuju bantaran kali dimana berderet rumah-rumah yang sebetulnya tak layak untuk disebut rumah.

Aku belum pernah menginjakkan kakiku di tempat yang menyedihkan seperti ini. Aroma sampah yang bau menyeruak dari kali yang airnya menghitam karena limbah, membuatku tak sadar menutup hidung.

Buruanku masuk ke sebuah bangunan yang sekelilingnya tertutup seng lapuk. Aku mendekati untuk mengintip. Tak kuhiraukan tatapan heran beberapa orang yang kebetulan melihat.

Bangunan itu ternyata tempat penampungan barang bekas. Di halamannya yang sarat dengan tumpukan macam-macam rongsokan aku melihat empat orang anak yang sebaya dengan Ucup sedang memilah-milah barang. Diantara tumpukan barang yang menggunung ada sebuah gubuk kecil. Seorang Bapak dengan brewok tebal tengah duduk di ambang pintunya, menghisap rokok sambil mengipas-ngipas badan dengan selembar kardus.

"Meunang naon poe ieu?(-Dapat apa hari ini,-Terj)"serunya dalam bahasa Sunda yang kasar ketika melihat Ucup menyandarkan gerobaknya. Dari suaranya yang kasar dan galak, bisa kunilai seperti apa perangainya.

"Saeutik, Bah. Rada rarieut sirah ieu teh (Cuma sedikit, Pak. Kepalaku pusing)," Kudengar nada takut dalam suara pelan Ucup.

Adegan berikutnya diluar dugaanku. Laki-laki brewok itu bangkit dengan marah, mengaduk-aduk gerobak Ucup, lalu tiba-tiba tangannya melayang menampar pipi anak kecil itu. Jerit kesakitannya terdengar berbarengan dengan jerit kagetku.

Ucup terpental jatuh lalu meringkuk sambil memegangi pipinya yang aku yakin sudah memerah.

"Saha eta (Siapa itu)?" Laki-laki brewok itu sekarang menuju pagar tempat aku mengintip. Rupanya ia mendengar teriakanku tadi. Sudah terlambat untuk mengelak, karena pintu tiba-tiba terpentang dan wajah brewoknya muncul tepat di depanku dengan sorot mata mengancam.

Jantungku hampir melorot ke ujung kaki waktu laki-laki bertampang kasar itu tiba-tiba membentak. "Kamu siapa? Ngapain ngintip-ngintip?"

"Saya cari Ucup," sahutku dengan suara digagah-gagahkan. Tentu saja aku sama sekali tidak ingin kelihatan takut dimatanya.

"Ada urusan apa?"

"Cuma ingin tahu kenapa dia tidak lagi sekolah."

"Kamu gurunya?"

"Bukan. Tapi saya..."

"Kalau begitu kamu tidak ada urusan dengan dia sekolah atau tidak." Ia melotot galak.

"Tentu saja ada. Saya dari Komnas perlindungan anak. Anda menyuruhnya bekerja jadi pemulung itu berarti anda sudah melanggar hak-haknya sebagai seorang anak. Ditambah lagi perlakuan anda yang kasar tadi. Saya bisa melaporkan anda dengan tuduhan penganiayaan. Hukumannya sudah pasti tidak ringan." Aku sampai heran sendiri dari mana bisa mendapat kata-kata sepanjang dan selancar itu pada saat jantungku sedang berdebar-debar tak karuan.

"Taik kucing!" laki-laki itu mendengus , "Budak budak aing. Aing nu mere parab. Rek dinaonkeun oge kumaha aing. Rek naon pipilueun? (Anak itu anakku. Aku yang kasih dia makan. Mau diapakan juga terserah padaku. Untuk apa ikut campur?"

"Saya cuma kasihan melihatnya. Dia masih kecil. Harusnya dia bisa sekolah terus, bukan bekerja seperti ini."

"Montong pipilueun! Nyingkah sia tidieu bisi ditampiling ku aing! (Sudah kubilang jangan ikut campur. Pergi dari sini sebelum kugampar!)"

Aku mundur dua tindak waktu laki-laki itu mengangkat tangannya dengan gerakan mengancam.

"Nyingkah! (Pergi!)" serunya lebih keras.

Kali ini kakiku mengambil inisiatif lebih cepat. Sebelum otakku sempat berpikir lagi, aku sudah berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Nyaris tak berhenti hingga sampai ke jalan raya.

Ketika berhenti barulah kurasakan sekujur tubuhku lemas seperti habis kehilangan semua tulang-tulangnya. Keringat mengucur dan degup jantungku begitu keras sampai aku takut semua orang yang lewat di dekatku bisa mendengarnya.

Aku pulang ke rumah dan memutuskan untuk menyimpan rapat-rapat apa yang telah kulakukan barusan.

Beberapa hari lewat dan aku hampir bisa melupakan kejadian itu. Lalu tiba-tiba suatu kali sepulang kuliah aku mendapati Ucup sedang berjongkok di depan pintu pagarku, memperhatikan anak-anak sekolah yang sedang bermain kelereng. Dia berdiri begitu melihatku. Berusaha tersenyum walaupun aku bisa melihat jelas keraguan di matanya.

"Ada apa?" tanyaku, berusaha untuk tidak mengingat lagi kekasaran Bapaknya tempo hari.

"Mau minta maaf," katanya malu-malu.

"Soal Bapakmu? Gak apa-apa. Aku sudah melupakan."

"Lain (Bukan)," ia garuk-garuk kepala, "Basa eta kuring ngomong... Cina. (Waktu itu saya bilang.... Cina.)"

Aku tertawa. "Aku memang Cina. Jadi gak masalah kan?"

Ia garuk-garuk kepala lagi.

"Kamu sudah makan? Tunggu, aku tahu kamu pasti belum makan. Aku akan suruh Mbok bawakan makanan buat kamu. Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana."

Aku melesat ke dalam. Dengan cepat menyuruh Mbok Umi menyiapkan sepiring nasi dan lauk-pauk yang kemudian kubawa sendiri ke depan.

Ucup terpana. Perlu beberapa menit bagiku untuk meyakinkannya bahwa makanan bertumpuk di piring itu memang untuknya dan halal. Tapi akhirnya ia makan juga. Dengan amat lahap bahkan. Mulut kecilnya begitu sibuk antara mengunyah dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

Pada akhirnya aku tahu lebih banyak tentang dia, tentang Ibunya yang meninggal waktu dia masih bayi, tentang Abah yang galak dan suka memukul, tentang kenapa ia berhenti sekolah. Dan aku baru paham kenapa dulu itu ia selalu nakal, kasar, suka memberontak. Ternyata dia cuma korban dari kerasnya kehidupan.

Aku jadi tambah simpati. Kutawari dia untuk kerja saja di toko milik Papi. Dia bisa tinggal di belakang toko bersama karyawan lain. Jadi dia tidak perlu lagi menerima perlakuan semena-mena dari Abah. Tapi tanpa kuduga dia langsung menggeleng tegas.

"Kalau saya pergi, terus Abah tinggal sama siapa?" katanya polos. "Biarpun galak, tapi dia sudah merawat saya dari kecil."

"Tapi dia suka mukulin kamu kan?"

"Itu kalau Abah lagi pusing karena gak punya duit."

"Dia juga melarang kamu untuk sekolah kan?"

"Nggak. Saya yang gak mau sekolah lagi. Buat apa?"

"Kamu bisa jadi pintar kalau sekolah. Nanti kamu bisa jadi orang sukses, bukan jadi pemulung seperti ini."

"Abah bilang sekolah gak akan bikin saya jadi kaya. Saya bisa kaya kalau dari sekarang saya kerja rajin dan ngumpulin duit sebanyak-banyaknya."

"Makanya saya tawari kamu kerja. Gajinya lumayan. Kamu bisa beli apa yang kamu mau dan bisa nabung juga." aku setengah memaksanya.

Dia menggeleng lagi. "Saya gak bisa ninggalin Abah."

Sekarang aku benar-benar tak mengerti. Bagaimana dia bisa dengan tegas menolak kehidupan yang mungkin jauh lebih baik hanya untuk seorang laki-laki tua kasar yang cuma tahu memeras tenaganya saja.

Tapi aku juga tahu tak bisa memaksanya. Maka kubiarkan dia dengan pilihannya. Hanya kubantu sedapat mungkin dengan memberikan sebanyak-banyaknya barang bekas yang bisa kutemui di rumah.

Berkali-kali setelah itu aku melihatnya datang dengan bekas pukulan di tangan atau di pipinya. Pernah sekali kutemukan luka di sudut bibirnya. Bahkan pernah juga ada benjolan besar di keningnya yang dia bilang kejeduk lemari. Aku yakin semua itu perbuatan Abah. Tapi Ucup tak pernah mengubah pilihannya. Ia tetap pilih ikut Abah daripada ikut aku. Sebuah pilihan yang tak pernah bisa kupahami hingga sekarang.

Hari ini seperti biasa dia mampir ke rumah. Lagi-lagi kulihat memar di pelipis kirinya. Tapi aku tak lagi ingin bertanya sebab sudah hapal seperti apa jawabannya. Kuberi dia sebutir apel yang langsung dikunyahnya dengan lahap.

Aku baru mau menawarinya makan waktu seorang anak sebayanya datang dan berteriak memanggilnya dengan nada panik.

"Cup, gancang balik, Abah maneh katabrak kareta api. Maot cenah. (Cup, cepat pulang. Abahmu tertabrak kereta api. Mereka bilang meninggal)."

Aku terperangah. Ucup apalagi. Kulihat badannya tiba-tiba gemetar. Wajahnya memucat. Apel yang masih setengah di tangannya jatuh ke tanah lalu menggelinding masuk got.

"Abaaaahhh...!!!" ia berteriak sambil berlari meninggalkan gerobaknya begitu saja.

Aku tak sempat lagi mencegahnya. Tak sempat lagi mengatakan apa-apa. Dia sudah keburu menghilang.

Sejak itu aku tak pernah lagi melihatnya. Gerobaknya yang tertinggal di depan rumah diambil oleh seorang temannya. Dia sendiri entah kemana.

Pernah kucoba mendatangi bantaran kali tempat tinggalnya. Tapi gubuk berpagar seng itu sudah kosong. Seorang Bapak di situ bilang setelah Abah meninggal, Ucup diajak seorang tetangganya kerja di Jakarta lalu tidak pernah ada kabarnya lagi hingga sekarang. Dari Bapak itu juga aku baru tahu bahwa Abah itu sebetulnya bukan ayah kandungnya. Ucup ditemukan oleh Abah ketika berumur 2 tahun sedang terlunta-lunta di pasar. Sejak itu Abah memeliharanya.

Aku meninggalkan tempat itu dengan sebuah pelajaran baru tentang hidup. Ucup yang selalu dibilang nakal, tapi ternyata punya kesetiaan dan kasih sayang pada orang yang pernah menolongnya, betapapun buruk perlakuan orang itu. Abah yang semula kupikir seorang laki-laki kasar dan jahat, tapi ternyata masih punya hati merawat seorang anak kecil yang tak punya siapa-siapa. Padahal kehidupannya sendiri sudah susah.

Jadi jangan menghakimi. Karena penghakiman itu hak Tuhan yang mengetahui segala hal dari awal hingga akhirnya...

Oleh : drackpack.multiply.com

Rabu, 01 Februari 2012

Open Your Mind



SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang kerja saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat (AS).

Sebagai teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan seorang profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain mengajar, saya juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya. Dengan mimik penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia menunjuk lembar jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda (multiple choice) yang baru saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak terlalu jelek,tetapi dia kurang puas dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang dianggapnya terbuka untuk didiskusikan. Setelah membacanya kembali, tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang konyol sekali.

Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. "Berapa lama rata-rata rumah tangga menggunakan handuk mandi?" Tentu saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset, maka mahasiswa harus menguasai dasardasar perilaku konsumen yang datanya diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks. Jadi kalau buku dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah menemukan jawabannya. Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga mengonsumsi handuk selama delapan tahun. Dia memilih jawaban dua tahun.Tentu saja saya mencoretnya.

Bagi seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja. Namun cerita berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan Anda tentang cara mendidik atau bahkan membimbing orang lain, karyawan,atau bahkan diri sendiri agar berhasil dalam hidup.


Kekuatan Argumentasi

Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, "Prof," ujarnya. "Jawaban ini salah." Saya mengernyitkan dahi.Maklum, belum pernah saya mendengar seorang mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan soal, apalagi menyalahkan isi buku. "Maksud saya, setelah saya tanya-tanya ke kiri-kanan, tak ada orang yang menyimpan handuk mandi sampai 8 tahun,"lanjutnya.

"Jadi berapa tahun?" tanya saya. "Yadua tahun.Ini jawaban saya benar,"katanya lagi. Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya sewaktu kuliah dulu mengakali dosen yang "lemah". Dosen seperti itu biasanya gampang diajak kompromi dan kalau kita pintar mengambil hatinya, angka bisa berubah.Maka,di kepala saya,berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi sama dengan kelemahan, lembek, merendahkan martabat, plinplan. "Jadilah guru yang teguh." Kalimat itu terus mengalir di hati saya. Kompromi itu jelek, lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa. "Ah, kamu ini cuma cari pembenaran saja. Ini justifikasi namanya.Pokoknya jawaban Anda salah.

Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40," ujar saya pada mahasiswa tadi. "Betul,"katanya lagi. "Di buku memang tertulis begitu.Saya tahu." "Ah, Anda tidak baca saja…," ujar saya lagi. "Bukan, tetapi ini tidak masuk akal." Dia mencoba menjelaskan.Namun sebagai orang Indonesia yang terbiasa dididik tanpa kompromi di sekolah, saya mencoba untuk tidak mendengarkan argumentasinya. Saya khawatir wibawa saya terganggu. Dosen kokdidebat. Namun dia tetap menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang tidak ada lagi handuk yang seawet itu.

Dua tahun sudah rusak."Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang, lagipula mana ada produsen yang mau membuat handuk dengan material yang kuat dan harganya mahal? Konsumen memilih yang terjangkau dan produsen memilih barang-barang yang murah.Kalau cepat rusak tak apa-apa,setelah itu beli lagi,"katanya bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan penuh harap saya mau mengubah pendapat saya. Saya masih ingat dia menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu tidak dipakai rumah tangga sehingga tidak merusak material. Lama kita berdebat dan sebenarnya saya suka mempunyai peserta didik yang kritis seperti itu. Namun, sebagai guru dari Indonesia, saya tidak suka ditawar-tawar.

Ini soal integritas. "Nope," jawab saya menolak permohonannya agar saya mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan pun selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia kembali lagi. Kali ini dia datang diantar profesor saya.Seperti tak ada masalah sama sekali profesor itu datang dengan penuh senyum. "Rhenald,"ujarnya. "I talk to this guy, and I like his idea." Sudah tahu arahnya, saya pun segera menukas."Yes, he did talk to me, and indeed he was wrong. He didn't give the right answer," ujar saya.

"Saya mengerti," jawab profesor itu,"Tapi perhatikan ini.Saya suka cara berpikirnya. Dia memang memberi jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi argumentasinya kuat dan dia benar." Singkat cerita, profesor itu meminta saya agar mendengarkannya dan memahami logika anak itu. Kejadian itu sekali lagi telah membuka pikiran saya. Betapa memalukannya otak reptil saya. Guru kok tertutup. Namun, saya beruntung segera menyadari kesalahan saya. Saya belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang salah.Tertutup, tak berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa hanyalah merupakan bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya perwujudan dari rasa takut yang berlebihan saja.

Takut dibilang lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan sebagainya.Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima dan nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus yang suka menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun memberikan bonus angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar menjaga imej.

Mendidik adalah proses menjadikan orang lain seorang "master" dan bukan menciptakan pengikut.Yang ingin kita lahirkan adalah manusia yang mampu berpikir,terbuka terhadap logika. Bukan manusia-manusia dogmatik yang hanya mengikuti maunya kita,menulis apa yang kita diktekan, berpendapat apa yang menjadi pikiran kita, dan tak bisa menerima perbedaan pendapat. Malas berpikir.


Keluar dari Buku

Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak kita saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai untuk mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film yang dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile. Dalam film itu dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap kali dia menampilkan slide yang diambil dari buku, selalu disambar muridmuridnya yang berebut menjelaskan.

Dia benar-benar bingung. Muridnya aktif-aktif dan pintarpintar. Mereka sudah membaca assignment sebelum pelajaran dimulai.Mereka benar-benar telah mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk kelas dengan membaca, membuat ringkasan, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan aktif berbicara. Hari pertama mengajar dia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah merenungi dalam-dalam, dia mendapatkan ide. Kali ini dia mengajak muridmuridnya keluar dari buku teks. Dia menunjukkan slide yang sama sekali baru.Tak ada di buku dan bahan ajarannya sama sekali baru. "Coba lihatlah gambar ini. Apakah ini bagus?" Semua murid tertegun.

Gambar itu belum pernah mereka lihat dan tanpa referensi mereka tidak punya acuan sama sekali.Padahal, selama ini mereka hanya mengikuti perintah buku. Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar itu bagus. Sekarang saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun tak berani berpendapat. Mereka saling lihat kirikanan. Seorang yang mencoba menjawab kebingungan. "Apakah ada gambar yang bagus?" "Siapa yang berhak mengatakannya?" "Sesuatu yang bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya." Mereka terbelah. Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. "Look, kalian baru saja keluar dari cara berpikir buku teks," ujarnya.

Dia mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film Monalisa Smile dan kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching assistant di University of Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa yang minta agar saya mengoreksi jawaban soalnya 15 tahun yang lalu itu? Benar! Kita adalah manusia dan tugas guru adalah mendidik manusia,memerdekakannya dari segala tekanan, dari perilakuperilaku buruk, dari pikiranpikiran negatif, dari rasa sok pintarnya yang sesungguhnya belum apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma, dan mengajaknya melihat keindahan dari apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu,yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak yang terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti parasut, yang artinya dia baru bisa dipakai kalau dia mengembang dan terbuka? Itulah yang saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan terbukti mereka mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya sharing-kan kepada para guru dan dosen. Sebagian orang cepat mengubah diri, tapi sebagian pendidik lain tidak peduli dengan cara ini. Mereka tetap ingin mengajar dengan cara-cara dogmatik. Ingin dipuja tanpa argumentasi,tak mau mendengarkan, takut dibilang lembek, dan ingin diterima bak seorang ulama besar yang tak terbantahkan. Itulah hidup, tak semua orang mau berubah. Namun Anda tak perlu cemas.

Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara suratsurat cinta mereka pun ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik sejati tak akan menyerah oleh ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi pada persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya.(*)


*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI