Selamat Datang

Jumat, 31 Desember 2010

Semangat dan Kontribusi Gus Dur Menjadi Inspirasi Memasuki Tahun Baru 2010

(Vibizdaily - Editorial) Siapa yang tidak kenal Gus Dur? Pasti sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal nama itu. Ya, beliau adalah Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia yang ke empat. Namun kini Gus Dur sudah meninggalkan kita, hari Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB, Gus Dur wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Seringkali memang saat seorang telah tiada, maka apa yang dilakukannya, perbuatan dan ide-ide atau peninggalannya, memberikan kesan yang mendalam. Demikian juga bagi Gus Dur, sekalipun ada juga kekurangan Gus Dur, namun jika ditanya apa kontribusi yang paling besar yang Gus Dur berikan bagi bangsa ini?
Tokoh Reformasi
Teringat sejarah tahun 1998-1999 saat rezim Soeharto ditumbangkan, maka kita pasti ingat, Gus Dur bersama Amien Rais dan Megawati Soekarnoputri menggerakkan reformasi bagi bangsa ini, sehingga kemenangan rakyat terjadi. Akhirnya perjuangan reformasi berbuahkan kepercayaan rakyat kepada Gus Dur, pada 20 oktober 2009, beliau menjadi Presiden RI ke 4.
Tokoh Pluralisme
Keterbukaannya dan perhatiannya, membuat banyak pihak bersimpati. Kebijakannya yang menerima kehadiran masyarakat China melalui agama dan budayanya pada Januari 2000, membuat Gus Dur juga dikenal masyarakat Tionghoa. Perhatiannya bagi umat Nasrani juga dilakukan dengan memberikan dukungan penjagaan melalui Banser saat acara keagamaan Natal diadakan, dan itu terus berlanjut hingga saat ini. Gus Dur memang tokoh Islam, namun kebijakannya yang moderat menggalang semua umat yang berbeda agama dan latar belakang budaya untuk bersatu.
Guru
Banyak tokoh dan pihak mengatakan Gus Dur adalah Guru, artinya banyak mengajarkan dan memberikan masukan. Gus Dur sangat dikenal sebagai sosok yang mau mendengarkan orang lain dan mau memberikan masukan ataupun kritik bagi orang lain. Tentu hal ini sangat bermanfaat bagi banyak orang yang memang dekat dan berada di sekitar beliau.
Humoris
Banyak celoteh dan spontanitas dari Gus Dur yang merupakan humor, namun justru humor itu yang memberikan inspirasi dan dibicarakan banyak orang. Istilah Gus Dur seperti “Gitu aja kok repot”, sangat dikenal semua orang bahkan banyak ditiru. Tentunya hal ini menandakan Gus Dur juga dihargai dan disukai banyak orang.
Berani
Sikap kemanusiaan dan keberanian Gus Dur juga dihormati banyak orang. Sebagai contoh, saat Bibit Samad Riyanyo dan Chandra Hamzah ditahan pihak Kepolisian, maka Gus Dur menjaminkan dirinyajuga ditahan supaya kedua pimpinan KPK itu dibebaskan.
"Gus Dur memberi jaminan fisik, sebagai gantinya agar Polri membebaskan Bibit dan Chandra. Agar keduanya bisa melaksanakan tugas sebagaimana mestinya," jelas juru bicara Gus Dur Adhie Massardi di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Senin (2/11/2009).
Banyak hal lain lagi yang menjadi cerminan positif dari Gus Dur. Tentunya bukan sekedar teori, tapi itu semua telah Gus Dur lakukan dan sumbangkan bagi bangsa Indonesia.
Dengan wafatnya Gus Dur, maka ada lagi harapan masyarakat banyak, yaitu supaya PKB bersatu. Kalau selama ini ada dua kubu yang berbeda, maka diharapkan kesatuan terjadi, karena ini juga yang menjadi wasiat dari Gus Dur sebelum meninggal dunia kepada Lukman Edy.
"Pada pertemuan kedua dengan saya, beliau diskusi tentang rekonsiliasi atau ishlah PKB, besar keinginan Beliau untuk mengumpulkan kembali semua potensi PKB," kata Lukman, Kamis (31/12/2009).
Gus Dur memang tokoh yang dihormati. Sejak pemindahan jenazahnya dari RSCM menuju rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, maka begitu ramai masyarakat datang. Apalagi saat jenazah memasuki Ciganjur,ribuan orang diperkirakan datang. Demikian juga saat jenazah menuju Ponpes Tebu Ireng, Jatim, kembalibanyak masyarakat menyambutnya.
Sekalipun Gus Dur telah pergi selamanya, namun semangat dan inspirasinya perlu dimiliki bangsa Indonesia.
Semangat dan Kontribusi Gus Dur ini semoga dapat memberikan modal bagi bangsa Indonesia memasuki Tahun yang baru, Tahun 2010, Tahun Keberhasilan.
Selamat Tahun Baru 2010.
Editor
(as/AS/vbd)

Kamis, 30 Desember 2010

Tokoh Penginspirasi Bagian I : Bunda Theresa


Bunda Teresa dari Calcuta (lahir di Üsküb,Kerajaan Ottoman, 27 Agustus 1910 – meninggal di Calcuta,India, 5 September 1997 pada umur 87 tahun) adalah seorang biarawati Katolik terkenal dan kontroversial di dunia Internasional yang pekerjaannya di antara orang miskin Kolkata diberitakan secara luas.

Dia diberikan Penghargaan Templeton pada 1973, Penghargaan Perdamaian Nobel pada 1979 dan penghargaan tertinggi warga sipil India, Bharat Ratna pada 1980. Dia dijadikan Warga Negara Kehormatan Amerika Serikat pada 1996 (satu di antara enam). Dia diberkati oleh Paus Yohanes Paulus II pada Oktober 2003, dan oleh karena itu dia dapat dipanggil Teresa Terberkati.



Awal hidup dan karier

Teresa dilahirkan sebagai Agnes Gonxha Bojaxhiu di Üskübdi negara yang sekarang bernama Republik Kosovo. . Ayahnya adalah seorang pedagang sukses. Orang tuanya memiliki tiga anak, dan Agnes merupakan yang termuda. Orang tuanya Nikollë (Kolë) and Dranafile Bojaxhiu, berasal dari kota Prizren di selatan Kosovo. Mereka menganut Katolik, meskipun kebanyakan orang Albania adalah Muslim dan mayoritas populasi di Makedonia adalah Ortodoks Makedonia.

Sangat sedikit diketahui tentang awal hidupnya kecuali dari tulisannya sendiri. Dia mengingat bahwa dia merasa panggilan untuk menolong si miskin dari umur 12, dan mengambil keputusan untuk melatih dirinya dalam kerja misi di India. Dia adalah anggota dari mudika di paroki setempat disebut Sodality. Pada umur 18, Vatikan mengizinkan Teresa untuk meninggalkan Skopje dan bergabung dengan Kesusteran Loreto, sebuah komunitas biarawati Irlandia di Rathfarnham dengan sebuah misi di Kolkata.

Dia memilih Kesusteran Loreto karena panggilan mereka adalah untuk menyediakan pendidikan bagi anak perempuan. Setelah beberapa bulan pelatihan di Institut "Blessed Virgin Mary" di Dublin dia dikirim ke Darjeeling di India sebagai suster novisiat. Pada 1931 dia melakukan kaulnya yang pertama di sana, memilih nama Suster Maria Teresa sebagai penghormatan kepada Teresa Avila dan Thérèse de Lisieux. Dia mengambil kaulnya yang terakhir pada Mei 1937, mendapatkan gelar keagamaan Bunda Teresa.

Dari 1930 sampai 1948 Bunda Teresa mengajar geografi dan katekisme di SMA St. Mary di Kolkata, menjadi kepala sekolah pada 1944. Dia kemudian mengatakan bahwa kemiskinan di sekitar meninggalkan kesan yang dalam dirinya. Pada September 1946, atas keinginan sendiri, dia menerima panggilan yang dalam dari Tuhan "untuk melayani Dia di antara termiskin dari yang miskin".

Pada 1948 dia menerima izin dari Paus Pius XII, melalui Uskup Agung Kolkata, untuk meninggalkan komunitasnya dan hidup sebagai suster merdeka. Dia keluar dari SMA tersebut dan setelah pendidikan pendek dengan "Medical Mission Sisters" di Patna, dia kembali ke Kolkata dan mendirikan tempat tinggal sementara dengan "Little Sisters of the Poor" di perkampungan Moti Jihl, Kalkuta. Dia kemudian memulai sekolah ruang terbuka untuk anak-anak tak memiliki rumah. Kemudian dia bergabung dengan sukarelawan penolong, dan dia menerima dukungan finansial dari organisasi gereja dan otoritas munisipal.

Pada Oktober 1950 Teresa menerima izin dari Vatikan untuk memulai ordonya sendiri. Vatikan awalnya menamakannya "Diocesan Congregation of the Calcutta Diocese", tapi kemudian berubah menjadi Missionaries of Charity, yang misinya adalah untuk memberikan perhatian untuk (dalam katanya sendiri) "si lapar, si telanjang, si gelandangan, si pincang, si buta, si lepra, dan semua orang yang merasa tak diinginkan, tak dicintai, tak diperhatikan dalam masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan ditolak oleh siapa pun."

Dengan bantuan dari pejabat India dia mengubah sebuah kuil Hindu yang telah ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah 'rumah sakit kecil' ("hospis") bagi si miskin. Tidak lama setelah dia membuka hospice lainnya, Nirmal Hriday (Hati Murni), sebuah rumah lepra disebut Shanti Nagar (Kota Kedamaian), dan sebuah panti asuhan, dan pada 1960-an telah membuka banyak hospis, panti asuhan, dan rumah lepra di banyak tempat di India.

Pada 1965 dengan memberikan Decree of Praise, Paus Paulus VI mengizinkan permintaan Bunda Teresa untuk mengembangkan ordonya ke negara lain. Ordo Teresa mulai tumbuh cepat, dengan rumah-rumah baru dibuka di banyak tempat di dunia. Rumah pertama ordo ini di luar India didirikan di Venezuela, dan kemudian diikuti di Roma dan Tanzania, dan kemudian di banyak negara di Asia, Afrika, dan Eropa, termasuk Albania. Sebagai tambahan, rumah Missionaries of Charity pertama di Amerika Serikat didirikan di Bronx Selatan, New York.

Bunda Teresa mendedikasikan hidupnya bagi kaum miskin dan terlupakan. Ia menjadi simbol dari sebuah komitmen dan kepemimpinan yang tak kenal lelah menaburkan cinta dan harapan bagi kemanusiaan. “Keep the joy of loving the poor and share this joy with all you meet. Remember works of love are works of Peace. God Bless you,” demikian salah satu pesannya kepada dunia.

Bunda Teresa lahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu pada 26 Agustus 1910, di Skopje, Macedonia (bekas daerah Yugoslavia). Sejak usia 17 tahun, ia sudah terpanggil untuk menjadi seorang biarawati. Pertama kali, ia bergabung dengan ordo Sisters of Loretto yang menjalankan tugas misionaris di India. Pada saat itulah, ia menanggalkan nama pemberian orangtuanya dan memilih nama Teresa untuk tugas pelayanannya. 

Sebagai biarawati, Suster Teresa pernah ditugaskan untuk mengajar geografi dan katekis di SMA St. Mary di Kalkuta, India. Di sana, ia sempat menjadi kepala sekolah. Pada saat divonis mengidap penyakit TBC, ia tak bisa lagi mengajar. Ia dikirim ke daerah Darjeeling di India untuk beristirahat dan menyembuhkan diri. Pada saat itulah, ia menerima panggilannya yang kedua. “Saya harus meninggalkan biara dan bekerja dengan orang-orang miskin, hidup di antara mereka,” ucapnya. 

Menolong yang Miskin dan Sakit

Pada tahun 1948, Suster Teresa mendapatkan ijin dari Vatican untuk meninggalkan ordo Sisters of Loretto dan menjadi seorang biarawati independen, di bawah pengawasan Uskup Agung Kalkuta. Ia memulai tugas kemanusiaannya di daerah kumuh dengan mengajar anak-anak miskin. Ia pun mempelajari ilmu pengobatan dasar, dan pergi ke rumah-rumah orang sakit untuk mengobati mereka. 

Perlahan, banyak mantan muridnya yang terpanggil untuk menjadi pengikutnya. Mereka mengumpulkan orang-orang yang sekarat, yang ditolak oleh rumah sakit-rumah sakit di Kalkuta, dan merawat mereka. 

Pada tahun 1950, kelompok yang dipimpin oleh Bunda Teresa ini diakui dan diresmikan oleh Gereja. Kelompok ini dinamakan Missionaries of Charity. Berkat kemampuannya memimpin, Bunda Teresa mampu menciptakan sebuah jaringan global dan memperluas misi kemanusiaannya di seluruh dunia. Ia merintis berbagai proyek kemanusiaan, termasuk mendirikan berbagai rumah sakit dan panti asuhan, serta membuka program konseling bagi mereka yang membutuhkan. 

Memperjuangkan Hak Hidup

Aborsi adalah satu hal yang sangat ditentang oleh Bunda Teresa. Dalam setiap kesempatan, ia selalu menyampaikan pernyataan menentang hal tersebut. Dalam ajang Cairo International Conference on Population and development pada 9 September 1994, salah satunya.

“Saya sudah sering mengatakan, dan saya yakin mengenai itu, bahwa perusak perdamaian terbesar di dunia saat ini adalah aborsi. Jika seorang ibu dapat membunuh anaknya sendiri, lalu apa yang dapat menghentikan Anda dan saya dari saling membunuh satu sama lain?” Demikian bunyi pesan yang dikirimnya.

“Satu-satunya yang memiliki hak untuk mengambil hidup adalah Dia yang telah menciptakannya. Tidak ada orang lain memiliki hak tersebut: tidak sebuah konferensi, tidak juga pemerintah.

“Jika ada anak yang tidak Anda inginkan atau tidak bisa Anda didik atau berikan makan, berikan anak itu kepada saya. Saya tidak akan menolak anak manapun. Saya akan memberikannya rumah, atau menemukan orang tua yang penuh kasih untuk dia. Kami berjuang melawan aborsi melalui adopsi, dan telah menyerahkan ribuan anak kepada keluarga yang peduli.”

Pesan semacam itu pun pernah ia sampaikan pada ajang World Conference on Women ke-4 yang diadakan United Nations di Beijing, pada September 1995. Demi perjuangannya, Bunda Teresa pun tak takut untuk mengecam para pemimpin negara yang pro-aborsi. Salah satunya, mantan Presiden AS Bill Clinton, yang mengijinkan penjualan pil kontrasepsi secara bebas di AS. Bunda Teresa pun pernah menemui mantan Perdana Menteri India Indira Gandhi untuk menentang program sterilisasi yang diadakan Pemerintah India untuk membendung peningkatan jumlah penduduk negara itu. 

Komitmen untuk Kemanusiaan

Bunda Teresa memiliki komitmen yang kuat. Dia selalu berusaha menggerakkan  hati para pemimpin negara untuk ikut memperjuangkan kehidupan kaum miskin, sakit, dan terlantar. Para penderita HIV/AIDS pun tak luput dari perhatiannya. Pada 1986, misalnya, ia pernah bertandang ke Gedung Putih di Washington DC untuk menemui Presiden Ronald Reagan dan meminta bantuannya mencarikan tempat di New York bagi para penderita HIV/AIDS. 

Karya Bunda Teresa tak hanya dikenal di Kalkuta. Proyek kemanusiaannya juga merambah berbagai negara. Ia dan kelompoknya menunjukkan kepedulian dan menolong orang-orang yang kelaparan di Ethiopia, menghibur para korban ledakan reaktor nuklir Chernobyl di Uni Soviet, serta memberikan bantuan bagi para korban bencana alam. 

Bunda Teresa adalah seorang sosok yang berpengaruh. Pada tahun 1982, selama pengepungan berdarah terjadi di Beirut, ia berhasil membujuk Israel dan Palestina untuk melakukan gencatan senjata. Hal itu untuk menyelamatkan anak-anak yang terperangkap di sebuah rumah sakit di daerah tersebut.

Sebagai pengakuan atas perjuangannya dalam mengatasi kemiskinan—yang juga menjadi ancaman bagi perdamaian dunia—Bunda Teresa mendapatkan berbagai penghargaan. Salah satunya adalah Nobel Perdamaian pada tahun 1979. 

Bunda Teresa meninggal dunia karena serangan jantung pada tahun 1997. Ia merupakan salah satu pemimpin wanita yang paling dikagumi sepajang masa.

Selasa, 28 Desember 2010

SOICHIRO HONDA : “Lihat Kegagalan Saya”

Pengalaman adalah guru yang paling brutal dan kejam.
Cobalah amati kendaraan yang melintasi jalan raya. Pasti, mata Anda selalu terbentur pada Honda, baik berupa mobil maupun motor. Merk kendaran ini menyesaki padatnya lalu lintas, sehingga layak dijuluki “raja jalanan”.
Namun, pernahkah Anda tahu, sang pendiri “kerajaan” Honda – Soichiro Honda – diliputi kegagalan. Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. “Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever. Saat merintis bisnisnya Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Namun ia trus bermimpi dan bermimpi…
Kecintaannya kepada mesin, mungkin ‘warisan’ dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang.
Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri.
Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.
Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama.
Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.
Kuliah karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah – pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah.
“Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya,” ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan.
Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali.
Namun, Honda tidak patah semangat. Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.
Akhirnya, tahun 1947,setelah perang Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, “sepeda motor” – cikal bakal lahirnya mobil Honda – itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok.
Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi “raja” jalanan dunia, termasuk Indonesia. Soichiro Honda mengatakan, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. “Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya”, tuturnya. Ia memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru dan berusahalah untuk merubah mimpi itu menjadi kenyataan.
Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa Suskes itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin. Jadi buat apa kita putus asa bersusah hati merenungi nasib dan kegagalan. Tetaplah tegar dan teruslah berusaha, lihatlah Honda sang ”Raja” jalanan.
5 Resep keberhasilan Honda:
1. Selalulah berambisi dan berjiwa muda.
2. Hargailah teori yang sehat, temukan gagasan baru, khususkan waktu memperbaiki produksi.
3. Senangilah pekerjaan Anda dan usahakan buat kondisi kerja Anda senyaman mungkin.
4. Carilah irama kerja yang lancar dan harmonis.
5. Selalu ingat pentingnya penelitian dan kerja sama.

Senin, 27 Desember 2010

Mata Ayah

Cerita ini berawal di sebuah sudut kota. Disana ada seorang remaja, sebut saja namanya Den. Di rumah, Den cuma hidup dengan ayahnya. Kakak-kakak Den sudah menikah dan tidak tinggal di rumahnya lagi. Den adalah seorang siswa kelas 2 SMU. Den juga suka bermain sepak bola. Ia sangat menyukai olah raga itu. Den cukup aktif di dalam klub sepak bola di kotanya. Den mendapat dukungan yang sangat kuat dari ayahnya akan hobinya tersebut.
Den berlatih sepak bola dengan timnya tiga kali seminggu. Sesekali timnya juga mengikuti beberapa kompetisi dan beberapa kali pernah menang. Seperti kali ini, timnya sedang mengikuti sebuah kejuaraan sepak bola yang cukup bergengsi. Pertandingan demi pertandingan dilalui dengan lancar hingga membawa tim tersebut ke babak grand final yang akan diselenggarakan  hari sabtu nanti.
Tetapi pada hari Selasa, sebuah berita duka terjadi. Ayah Den meninggal dunia. Dengan menyesal Den meminta ijin pelatihnya bahwa dia tidak bisa datang latihan hari ini. Sang pelatih pun memahami keadaan tersebut. Bahkan sang pelatih juga menyarankan Den untuk beristirahat sejenak. “Jika berkeberatan, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti pertandingan final besok Sabtu. Tenangkan dirimu dulu, kami akan selalu menunggu kehadiranmu kembali.” Kata pelatih itu.
Pertandingan grand final hari Sabtu pun tiba. Penonton tampak berjubel di tribun lapangan. Kesebelasan Den tampak sangat terdesak oleh tim lawan. Skor saat ini menunjukkan 2-0 untuk tim lawan. Padahal pertandingan sudah berlangsung 20 menit pada babak ke dua.
Tiba-tiba Den menampakkan diri di pinggir lapangan. Tanpa banyak tanya ia langsung ganti baju, memakai sepatu, dan melakukan sedikit pemanasan dengan bola kesayangannya di pinggir lapangan. Pelatih dan rekan-rekan timnya heran dan terkejut melihat hal ini. “Ijinkan saya ikut bertanding pak!” Seru Den pada pelatihnya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya pelatih itu mengijinkan Den masuk ke tengah lapangan.
Hal yang mengejutkan terjadi. Entah bagaimana, permainan Den pada malam itu sangat cemerlang. Ia seperti tidak memiliki rasa lelah untuk berlari, merebut, dan menendang bola di menit-menit terakhir itu. Tenaga rekan-rekan satu timnya yang mulai terkuras habis pun menjadi bangkit melihat semangat Den.
Tak diduga, malam itu Den berhasil memasukkan tiga bola ke gawang lawan. Sebuah lompatan tersendiri bagi prestasi Den di timnya selama ini. Sebab selama ini Den jarang memasukkan bola ke gawang lawan, sekalipun beberapa kali pernah ditempatkan pelatih pada posisi striker seperti pada pertandingan malam ini. Akhirnya pertandingan pun selesai. Kesebelasan Den menang dari tim lawan dengan skor 2-3.
“Ada apa kamu, Den? Aku belum pernah melihatmu sehebat ini! Motivasi dan tenagamu malam ini sangat cemerlang!” Seru pelatih dengan bangga.
“Tahukah, pak? bahwa selama ini Ayah sangat mendukung permainan sepak bola saya. Bahkan ia selalu berharap kelak saya bisa menjadi seorang bintang sepak bola.” Kata Den sambil terengah-engah.
“Tahukah pula, Pak. Kalau Ayah saya buta? memang selama ini dia selalu duduk di antara penonton untuk mengikuti setiap pertandingan saya, tetapi seumur hidup dia belum pernah benar-benar melihat saya bertanding!”
Den melanjutkan, “Dan malam ini adalah kali pertama Ayah benar-benar melihat saya bertanding, saya ingin menunjukkan kepada dia, bahwa saya memang pantas untuk dilihat oleh dia.”