Selamat Datang

Jumat, 03 Februari 2012

Video Inspirasi "Susan Boyle"



Pengamat musik ternama, Simon Cowell, dan banyak penonton lainnya boleh saja tertawa, meremehkan, dan mencemooh. Itulah agaknya yang terjadi ketika Susan Boyle tampil di atas panggung acara Britain’s Got Talent. Ini adalah ajang pencarian bakat penyanyi versi Inggris yang ditayangkan televisi.

Boyle adalah perempuan berusia 47 tahun dengan tubuh gemuk. Dia beralis tebal seperti Leonid Breznev dan berparas biasa-biasa saja. Dandanannya pun sederhana. Pokoknya sangat jauh dari gambaran calon idola yang biasa muncul di tayangan-tayangan televisi mana pun.

Perempuan asal Blackburn, gabungan beberapa desa di wilayah Wesy Lothian, Skotlandia, itu memang muncul seperti umumnya orang kampung. Lugu, tetapi tampak percaya diri.
Cowell menanyainya dengan sinis, ”Ke mana saja selama ini dan mengapa baru ikut ajang ini sekarang?”

Boyle yang mengaku belum menikah, bahkan belum pernah dicium seorang pria, itu menjawab dengan penuh rasa percaya diri. ”Selama ini saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk tampil dalam acara pencarian bakat seperti ini.”

Cowell bertanya lagi. ”Anda ingin menjadi seperti siapa?”

Boyle dengan penuh gaya mengatakan ingin menjadi seperti Elaine Paige, aktris sekaligus penyanyi terkenal Inggris yang kiprahnya sangat diakui pada pertunjukan teater musikal. Dia pun menggoyang-goyang pinggulnya yang besar untuk meyakinkan Cowell yang memandangnya dengan ”sebelah mata” pada awalnya.

Akan tetapi, ketika dia mulai menyanyikan lagu I Dreamed a Dream yang diambil dari kisah drama musikal Les Miserables, semua mata pun terbelalak, termasuk ketiga juri Britain’s Got Talent malam itu, yaitu jurnalis dan pembaca acara televisi Piers Morgan, aktris Amanda Holden, dan Simon Cowell. Sejumlah penonton yang berada di studio pun spontan bertepuk tangan sambil berdiri, memuji tinggi-tinggi suara Boyle yang memang sangat apik dan enak didengar.

Cowell yang biasanya terlihat tak acuh pun, malam itu, meletakkan kedua tangan untuk menopang dagunya. Beberapa kali dia menggelengkan kepala, seolah tak percaya dengan ”keajaiban” dari sambutan itu.

Melalui suaranya yang bening bak penyanyi opera, jalan hidup Boyle yang semula tak punya pekerjaan itu langsung berubah setelah penampilan di ajang calon idola versi Inggris itu.

”Tidak diragukan, ini adalah kejutan terbesar yang pernah saya dapatkan selama tiga tahun saya berada di acara ini. Ketika Anda berdiri di sana dan mengatakan, ’saya ingin menjadi seperti Elaine Paige’, semua orang menertawai Anda. Sekarang, tak seorang pun tertawa. Anda sangat memukau dan tampil luar biasa. Saya terduduk lemas karena terharu,” ungkap juri Piers Morgan.

Amanda Holden pun menimpali, ”Saya pun amat terpukau karena saya tahu semua orang menolak Anda. Saya sejujurnya berpikir bahwa kita semua sudah sangat sinis dan saya rasa inilah sebuah peringatan terbesar. Dan, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sepenuhnya merasa terhormat mendengar Anda tadi menyanyi.”

Simon Cowell pun tidak bisa lagi mengelak dan sambil menahan tawa dia mengatakan, ”Sejak awal Anda berjalan ke panggung, saya tahu. Ada sesuatu yang luar biasa dalam diri Anda.”

Tentu saja komentar Cowell yang di luar kebiasaannya itu langsung disambut riuh para penonton di studio. Sementara Boyle tampak sangat gembira dan puas sekali dengan sambutan para juri dan penontonnya itu.

Umur, asal-muasal keluarga yang tidak istimewa, penampilan yang kurang menarik, bukan hambatan. Boyle dianugerahi keistimewaan yang lain, yaitu suara soprannya.

Pemunculan Boyle dalam acara ajang pencarian idola versi Inggris itu juga menjadi peringatan bagi para pengelola ajang sejenis lainnya di berbagai negara untuk tidak meremehkan siapa saja. Umumnya, ajang sejenis itu membatasi umur peserta dan lebih memfavoritkan penampilan fisik calon idola.

Seperti ditulis The Telegraph, Boyle secara konsisten telah menunjukkan kepercayaan dirinya yang alami, baik di belakang panggung, di atas panggung, maupun setelah turun dari panggung. Tak ada tanda-tanda keraguan dan gugup, yang memang tidak perlu karena dia memiliki suara emas.

Kamis, 02 Februari 2012

Inspirasi "Namanya Ucup"


Pertama kali aku melihatnya dari jendela kamarku yang kebetulan menghadap sebuah Sekolah Dasar Negeri. Aneh tapi nyata, sebuah SD Negeri terletak di dalam kompleks perumahan yang cukup elit. Bangunannya sederhana hanya terdiri dari 6 ruang kelas ditambah 1 kantor guru. Tidak ada halaman. Makanya kegiatan bermain, olah raga ataupun upacara bendera dilakukan di jalanan kompleks, persis di depan pagar rumahku.

Di situlah aku pertama kali melihatnya, sedang berdiri di depan tiang bendera. Kepalanya setengah menengadah. Sebelah tangannya menaungi wajah dari silau matahari siang. Beberapa anak yang lebih kecil berkeliling di dekatnya sambil menyoraki. Rasa penasaran yang kemudian membuatku beranjak ke halaman dan menyapa seorang anak yang sedang bersandar di pagar rumahku.

"Dek, anak itu kenapa?" tanyaku sambil menunjuk anak di bawah tiang bendera.

Anak yang kusapa kelihatan kaget. Matanya memicing sejenak melihatku lalu menjawab sambil lalu, "Disetrap."

"Emang kenapa?"

Anak itu menoleh lagi. Mungkin heran melihat kecerewetanku.

"Dia nakal?" tanyaku lagi

"Iya. Berantem dengan kelas 6. Kepala anak kelas 6 itu bocor dijedukin ke tembok."

Setengah tak percaya aku memperhatikan anak yang masih berdiri di bawah tiang bendera. Perawakannya kecil. Lebih tepat dibilang ceking. Taksiranku dia paling baru kelas 3. Kok bisa berantem dengan anak kelas 6?

"Namanya siapa?"

"Siapa?" anak yang kutanya malah balik bertanya.

Aku menunjuk anak yang kumaksud dengan daguku.

"Ucup," anak itu menyahut singkat, lalu berlari ke arah teman-temannya yg sedang main bola.

Sejak itu aku jadi sering memperhatikannya. Hampir tiap pagi dia tiba di sekolah dengan berlari-lari. Seringkali bel sudah keburu berdentang dan akibatnya dia tak boleh masuk kelas. Kalau sudah begitu biasanya kulihat dia bermain-main sendiri di jalanan. Mengejar-ngejar mobil lewat atau mengganggu tukang-tukang jualan.

Dari Ibu-ibu yang biasa nongkrong menunggui anak-anaknya aku tahu kalau Ucup adalah trouble maker di sekolah. Mestinya dia sudah kelas 4. Tapi dua tahun tidak naik kelas, jadi sekarang baru duduk di kelas 2. Tukang berkelahi, selalu terlambat, suka nyolong, suka ngomong jorok, dan masih banyak cerita tak sedap yang membuatku miris.

Pemandangan Ucup berdiri di bawah tiang bendera pun menjadi hal rutin yang kusaksikan hampir tiap hari dari jendela kamarku. Tapi sampai sejauh ini hanya itu saja yang kulakukan. Memperhatikannya dalam diam di balik jendela.

Lalu suatu ketika rutinitas itu hilang. Tiba-tiba aku tak pernah melihatnya lagi berlari-lari supaya tidak terlambat masuk kelas, atau disetrap di bawah tiang bendera. Seorang anak yang kutanyai mengatakan bahwa Ucup sudah dikeluarkan dari sekolah karena untuk ketiga kalinya tidak naik kelas, disamping karena guru-guru sudah kewalahan menghadapi kenakalannya.

Seperti ada rasa yang hilang, tapi cepat tergantikan oleh kesibukan dan waktu yang berjalan.

Sampai suatu ketika aku melihatnya lagi. Kali ini tengah mendorong sebuah gerobak dan mengorek-ngorek tempat sampah di depan rumahku. Lagi-lagi rasa penasaran membuatku memburunya ke depan.

"Kamu Ucup kan?" tanyaku sehalus mungkin, tapi tak urung membuatnya terkejut.

"Kamu dulu sekolah di situ kan?"

Ketika raut terkejutnya hilang, ia balik menatapku dengan sorot menantang. Tutup tong sampahku dibantingnya hingga bergedombrangan. Beberapa cup bekas minuman kemasan yang baru dia ambil dilemparnya ke dalam gerobak.

Aku sedikit terkejut melihat kekasarannya. Tapi sudah kepalang basah.

"Kenapa kamu gak sekolah lagi?"

Tiba-tiba ia meludah ke tanah. Lalu kembali menatapku, kali ini dengan sinis. "Cina!" umpatnya kasar lalu mendorong gerobaknya menjauh, meninggalkanku terpana.

Tanganku terasa gatal ingin menampar mulutnya. Apa haknya mengataiku bahkan meludah di depanku. Aku cuma bertanya baik-baik. Itupun karena rasa simpati yang tak terbendung.

Tapi yang kulakukan kemudian malah diluar dugaanku sendiri. Aku tak tahu ini namanya tolol atau nekat, tapi aku mendapati diriku sedang mengikuti anak tak tahu adat itu. Aku tahu hari sudah sore, dia pasti sudah mau pulang. Aku jadi ingin tahu dimana rumahnya, seperti apa keluarga yang membesarkannya sampai dia jadi seperti itu.

Rasanya aku sudah seperti seorang detektif yang sedang mengikuti buruannya diam-diam dari jauh. Aku melihat dia keluar dari gerbang kompleks, lalu menyusuri jalan raya dan berbelok di sebuah gang kecil. Terus menuju bantaran kali dimana berderet rumah-rumah yang sebetulnya tak layak untuk disebut rumah.

Aku belum pernah menginjakkan kakiku di tempat yang menyedihkan seperti ini. Aroma sampah yang bau menyeruak dari kali yang airnya menghitam karena limbah, membuatku tak sadar menutup hidung.

Buruanku masuk ke sebuah bangunan yang sekelilingnya tertutup seng lapuk. Aku mendekati untuk mengintip. Tak kuhiraukan tatapan heran beberapa orang yang kebetulan melihat.

Bangunan itu ternyata tempat penampungan barang bekas. Di halamannya yang sarat dengan tumpukan macam-macam rongsokan aku melihat empat orang anak yang sebaya dengan Ucup sedang memilah-milah barang. Diantara tumpukan barang yang menggunung ada sebuah gubuk kecil. Seorang Bapak dengan brewok tebal tengah duduk di ambang pintunya, menghisap rokok sambil mengipas-ngipas badan dengan selembar kardus.

"Meunang naon poe ieu?(-Dapat apa hari ini,-Terj)"serunya dalam bahasa Sunda yang kasar ketika melihat Ucup menyandarkan gerobaknya. Dari suaranya yang kasar dan galak, bisa kunilai seperti apa perangainya.

"Saeutik, Bah. Rada rarieut sirah ieu teh (Cuma sedikit, Pak. Kepalaku pusing)," Kudengar nada takut dalam suara pelan Ucup.

Adegan berikutnya diluar dugaanku. Laki-laki brewok itu bangkit dengan marah, mengaduk-aduk gerobak Ucup, lalu tiba-tiba tangannya melayang menampar pipi anak kecil itu. Jerit kesakitannya terdengar berbarengan dengan jerit kagetku.

Ucup terpental jatuh lalu meringkuk sambil memegangi pipinya yang aku yakin sudah memerah.

"Saha eta (Siapa itu)?" Laki-laki brewok itu sekarang menuju pagar tempat aku mengintip. Rupanya ia mendengar teriakanku tadi. Sudah terlambat untuk mengelak, karena pintu tiba-tiba terpentang dan wajah brewoknya muncul tepat di depanku dengan sorot mata mengancam.

Jantungku hampir melorot ke ujung kaki waktu laki-laki bertampang kasar itu tiba-tiba membentak. "Kamu siapa? Ngapain ngintip-ngintip?"

"Saya cari Ucup," sahutku dengan suara digagah-gagahkan. Tentu saja aku sama sekali tidak ingin kelihatan takut dimatanya.

"Ada urusan apa?"

"Cuma ingin tahu kenapa dia tidak lagi sekolah."

"Kamu gurunya?"

"Bukan. Tapi saya..."

"Kalau begitu kamu tidak ada urusan dengan dia sekolah atau tidak." Ia melotot galak.

"Tentu saja ada. Saya dari Komnas perlindungan anak. Anda menyuruhnya bekerja jadi pemulung itu berarti anda sudah melanggar hak-haknya sebagai seorang anak. Ditambah lagi perlakuan anda yang kasar tadi. Saya bisa melaporkan anda dengan tuduhan penganiayaan. Hukumannya sudah pasti tidak ringan." Aku sampai heran sendiri dari mana bisa mendapat kata-kata sepanjang dan selancar itu pada saat jantungku sedang berdebar-debar tak karuan.

"Taik kucing!" laki-laki itu mendengus , "Budak budak aing. Aing nu mere parab. Rek dinaonkeun oge kumaha aing. Rek naon pipilueun? (Anak itu anakku. Aku yang kasih dia makan. Mau diapakan juga terserah padaku. Untuk apa ikut campur?"

"Saya cuma kasihan melihatnya. Dia masih kecil. Harusnya dia bisa sekolah terus, bukan bekerja seperti ini."

"Montong pipilueun! Nyingkah sia tidieu bisi ditampiling ku aing! (Sudah kubilang jangan ikut campur. Pergi dari sini sebelum kugampar!)"

Aku mundur dua tindak waktu laki-laki itu mengangkat tangannya dengan gerakan mengancam.

"Nyingkah! (Pergi!)" serunya lebih keras.

Kali ini kakiku mengambil inisiatif lebih cepat. Sebelum otakku sempat berpikir lagi, aku sudah berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Nyaris tak berhenti hingga sampai ke jalan raya.

Ketika berhenti barulah kurasakan sekujur tubuhku lemas seperti habis kehilangan semua tulang-tulangnya. Keringat mengucur dan degup jantungku begitu keras sampai aku takut semua orang yang lewat di dekatku bisa mendengarnya.

Aku pulang ke rumah dan memutuskan untuk menyimpan rapat-rapat apa yang telah kulakukan barusan.

Beberapa hari lewat dan aku hampir bisa melupakan kejadian itu. Lalu tiba-tiba suatu kali sepulang kuliah aku mendapati Ucup sedang berjongkok di depan pintu pagarku, memperhatikan anak-anak sekolah yang sedang bermain kelereng. Dia berdiri begitu melihatku. Berusaha tersenyum walaupun aku bisa melihat jelas keraguan di matanya.

"Ada apa?" tanyaku, berusaha untuk tidak mengingat lagi kekasaran Bapaknya tempo hari.

"Mau minta maaf," katanya malu-malu.

"Soal Bapakmu? Gak apa-apa. Aku sudah melupakan."

"Lain (Bukan)," ia garuk-garuk kepala, "Basa eta kuring ngomong... Cina. (Waktu itu saya bilang.... Cina.)"

Aku tertawa. "Aku memang Cina. Jadi gak masalah kan?"

Ia garuk-garuk kepala lagi.

"Kamu sudah makan? Tunggu, aku tahu kamu pasti belum makan. Aku akan suruh Mbok bawakan makanan buat kamu. Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana."

Aku melesat ke dalam. Dengan cepat menyuruh Mbok Umi menyiapkan sepiring nasi dan lauk-pauk yang kemudian kubawa sendiri ke depan.

Ucup terpana. Perlu beberapa menit bagiku untuk meyakinkannya bahwa makanan bertumpuk di piring itu memang untuknya dan halal. Tapi akhirnya ia makan juga. Dengan amat lahap bahkan. Mulut kecilnya begitu sibuk antara mengunyah dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

Pada akhirnya aku tahu lebih banyak tentang dia, tentang Ibunya yang meninggal waktu dia masih bayi, tentang Abah yang galak dan suka memukul, tentang kenapa ia berhenti sekolah. Dan aku baru paham kenapa dulu itu ia selalu nakal, kasar, suka memberontak. Ternyata dia cuma korban dari kerasnya kehidupan.

Aku jadi tambah simpati. Kutawari dia untuk kerja saja di toko milik Papi. Dia bisa tinggal di belakang toko bersama karyawan lain. Jadi dia tidak perlu lagi menerima perlakuan semena-mena dari Abah. Tapi tanpa kuduga dia langsung menggeleng tegas.

"Kalau saya pergi, terus Abah tinggal sama siapa?" katanya polos. "Biarpun galak, tapi dia sudah merawat saya dari kecil."

"Tapi dia suka mukulin kamu kan?"

"Itu kalau Abah lagi pusing karena gak punya duit."

"Dia juga melarang kamu untuk sekolah kan?"

"Nggak. Saya yang gak mau sekolah lagi. Buat apa?"

"Kamu bisa jadi pintar kalau sekolah. Nanti kamu bisa jadi orang sukses, bukan jadi pemulung seperti ini."

"Abah bilang sekolah gak akan bikin saya jadi kaya. Saya bisa kaya kalau dari sekarang saya kerja rajin dan ngumpulin duit sebanyak-banyaknya."

"Makanya saya tawari kamu kerja. Gajinya lumayan. Kamu bisa beli apa yang kamu mau dan bisa nabung juga." aku setengah memaksanya.

Dia menggeleng lagi. "Saya gak bisa ninggalin Abah."

Sekarang aku benar-benar tak mengerti. Bagaimana dia bisa dengan tegas menolak kehidupan yang mungkin jauh lebih baik hanya untuk seorang laki-laki tua kasar yang cuma tahu memeras tenaganya saja.

Tapi aku juga tahu tak bisa memaksanya. Maka kubiarkan dia dengan pilihannya. Hanya kubantu sedapat mungkin dengan memberikan sebanyak-banyaknya barang bekas yang bisa kutemui di rumah.

Berkali-kali setelah itu aku melihatnya datang dengan bekas pukulan di tangan atau di pipinya. Pernah sekali kutemukan luka di sudut bibirnya. Bahkan pernah juga ada benjolan besar di keningnya yang dia bilang kejeduk lemari. Aku yakin semua itu perbuatan Abah. Tapi Ucup tak pernah mengubah pilihannya. Ia tetap pilih ikut Abah daripada ikut aku. Sebuah pilihan yang tak pernah bisa kupahami hingga sekarang.

Hari ini seperti biasa dia mampir ke rumah. Lagi-lagi kulihat memar di pelipis kirinya. Tapi aku tak lagi ingin bertanya sebab sudah hapal seperti apa jawabannya. Kuberi dia sebutir apel yang langsung dikunyahnya dengan lahap.

Aku baru mau menawarinya makan waktu seorang anak sebayanya datang dan berteriak memanggilnya dengan nada panik.

"Cup, gancang balik, Abah maneh katabrak kareta api. Maot cenah. (Cup, cepat pulang. Abahmu tertabrak kereta api. Mereka bilang meninggal)."

Aku terperangah. Ucup apalagi. Kulihat badannya tiba-tiba gemetar. Wajahnya memucat. Apel yang masih setengah di tangannya jatuh ke tanah lalu menggelinding masuk got.

"Abaaaahhh...!!!" ia berteriak sambil berlari meninggalkan gerobaknya begitu saja.

Aku tak sempat lagi mencegahnya. Tak sempat lagi mengatakan apa-apa. Dia sudah keburu menghilang.

Sejak itu aku tak pernah lagi melihatnya. Gerobaknya yang tertinggal di depan rumah diambil oleh seorang temannya. Dia sendiri entah kemana.

Pernah kucoba mendatangi bantaran kali tempat tinggalnya. Tapi gubuk berpagar seng itu sudah kosong. Seorang Bapak di situ bilang setelah Abah meninggal, Ucup diajak seorang tetangganya kerja di Jakarta lalu tidak pernah ada kabarnya lagi hingga sekarang. Dari Bapak itu juga aku baru tahu bahwa Abah itu sebetulnya bukan ayah kandungnya. Ucup ditemukan oleh Abah ketika berumur 2 tahun sedang terlunta-lunta di pasar. Sejak itu Abah memeliharanya.

Aku meninggalkan tempat itu dengan sebuah pelajaran baru tentang hidup. Ucup yang selalu dibilang nakal, tapi ternyata punya kesetiaan dan kasih sayang pada orang yang pernah menolongnya, betapapun buruk perlakuan orang itu. Abah yang semula kupikir seorang laki-laki kasar dan jahat, tapi ternyata masih punya hati merawat seorang anak kecil yang tak punya siapa-siapa. Padahal kehidupannya sendiri sudah susah.

Jadi jangan menghakimi. Karena penghakiman itu hak Tuhan yang mengetahui segala hal dari awal hingga akhirnya...

Oleh : drackpack.multiply.com

Rabu, 01 Februari 2012

Open Your Mind



SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang kerja saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat (AS).

Sebagai teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan seorang profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain mengajar, saya juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya. Dengan mimik penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia menunjuk lembar jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda (multiple choice) yang baru saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak terlalu jelek,tetapi dia kurang puas dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang dianggapnya terbuka untuk didiskusikan. Setelah membacanya kembali, tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang konyol sekali.

Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. "Berapa lama rata-rata rumah tangga menggunakan handuk mandi?" Tentu saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset, maka mahasiswa harus menguasai dasardasar perilaku konsumen yang datanya diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks. Jadi kalau buku dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah menemukan jawabannya. Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga mengonsumsi handuk selama delapan tahun. Dia memilih jawaban dua tahun.Tentu saja saya mencoretnya.

Bagi seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja. Namun cerita berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan Anda tentang cara mendidik atau bahkan membimbing orang lain, karyawan,atau bahkan diri sendiri agar berhasil dalam hidup.


Kekuatan Argumentasi

Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, "Prof," ujarnya. "Jawaban ini salah." Saya mengernyitkan dahi.Maklum, belum pernah saya mendengar seorang mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan soal, apalagi menyalahkan isi buku. "Maksud saya, setelah saya tanya-tanya ke kiri-kanan, tak ada orang yang menyimpan handuk mandi sampai 8 tahun,"lanjutnya.

"Jadi berapa tahun?" tanya saya. "Yadua tahun.Ini jawaban saya benar,"katanya lagi. Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya sewaktu kuliah dulu mengakali dosen yang "lemah". Dosen seperti itu biasanya gampang diajak kompromi dan kalau kita pintar mengambil hatinya, angka bisa berubah.Maka,di kepala saya,berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi sama dengan kelemahan, lembek, merendahkan martabat, plinplan. "Jadilah guru yang teguh." Kalimat itu terus mengalir di hati saya. Kompromi itu jelek, lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa. "Ah, kamu ini cuma cari pembenaran saja. Ini justifikasi namanya.Pokoknya jawaban Anda salah.

Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40," ujar saya pada mahasiswa tadi. "Betul,"katanya lagi. "Di buku memang tertulis begitu.Saya tahu." "Ah, Anda tidak baca saja…," ujar saya lagi. "Bukan, tetapi ini tidak masuk akal." Dia mencoba menjelaskan.Namun sebagai orang Indonesia yang terbiasa dididik tanpa kompromi di sekolah, saya mencoba untuk tidak mendengarkan argumentasinya. Saya khawatir wibawa saya terganggu. Dosen kokdidebat. Namun dia tetap menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang tidak ada lagi handuk yang seawet itu.

Dua tahun sudah rusak."Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang, lagipula mana ada produsen yang mau membuat handuk dengan material yang kuat dan harganya mahal? Konsumen memilih yang terjangkau dan produsen memilih barang-barang yang murah.Kalau cepat rusak tak apa-apa,setelah itu beli lagi,"katanya bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan penuh harap saya mau mengubah pendapat saya. Saya masih ingat dia menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu tidak dipakai rumah tangga sehingga tidak merusak material. Lama kita berdebat dan sebenarnya saya suka mempunyai peserta didik yang kritis seperti itu. Namun, sebagai guru dari Indonesia, saya tidak suka ditawar-tawar.

Ini soal integritas. "Nope," jawab saya menolak permohonannya agar saya mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan pun selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia kembali lagi. Kali ini dia datang diantar profesor saya.Seperti tak ada masalah sama sekali profesor itu datang dengan penuh senyum. "Rhenald,"ujarnya. "I talk to this guy, and I like his idea." Sudah tahu arahnya, saya pun segera menukas."Yes, he did talk to me, and indeed he was wrong. He didn't give the right answer," ujar saya.

"Saya mengerti," jawab profesor itu,"Tapi perhatikan ini.Saya suka cara berpikirnya. Dia memang memberi jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi argumentasinya kuat dan dia benar." Singkat cerita, profesor itu meminta saya agar mendengarkannya dan memahami logika anak itu. Kejadian itu sekali lagi telah membuka pikiran saya. Betapa memalukannya otak reptil saya. Guru kok tertutup. Namun, saya beruntung segera menyadari kesalahan saya. Saya belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang salah.Tertutup, tak berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa hanyalah merupakan bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya perwujudan dari rasa takut yang berlebihan saja.

Takut dibilang lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan sebagainya.Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima dan nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus yang suka menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun memberikan bonus angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar menjaga imej.

Mendidik adalah proses menjadikan orang lain seorang "master" dan bukan menciptakan pengikut.Yang ingin kita lahirkan adalah manusia yang mampu berpikir,terbuka terhadap logika. Bukan manusia-manusia dogmatik yang hanya mengikuti maunya kita,menulis apa yang kita diktekan, berpendapat apa yang menjadi pikiran kita, dan tak bisa menerima perbedaan pendapat. Malas berpikir.


Keluar dari Buku

Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak kita saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai untuk mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film yang dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile. Dalam film itu dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap kali dia menampilkan slide yang diambil dari buku, selalu disambar muridmuridnya yang berebut menjelaskan.

Dia benar-benar bingung. Muridnya aktif-aktif dan pintarpintar. Mereka sudah membaca assignment sebelum pelajaran dimulai.Mereka benar-benar telah mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk kelas dengan membaca, membuat ringkasan, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan aktif berbicara. Hari pertama mengajar dia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah merenungi dalam-dalam, dia mendapatkan ide. Kali ini dia mengajak muridmuridnya keluar dari buku teks. Dia menunjukkan slide yang sama sekali baru.Tak ada di buku dan bahan ajarannya sama sekali baru. "Coba lihatlah gambar ini. Apakah ini bagus?" Semua murid tertegun.

Gambar itu belum pernah mereka lihat dan tanpa referensi mereka tidak punya acuan sama sekali.Padahal, selama ini mereka hanya mengikuti perintah buku. Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar itu bagus. Sekarang saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun tak berani berpendapat. Mereka saling lihat kirikanan. Seorang yang mencoba menjawab kebingungan. "Apakah ada gambar yang bagus?" "Siapa yang berhak mengatakannya?" "Sesuatu yang bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya." Mereka terbelah. Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. "Look, kalian baru saja keluar dari cara berpikir buku teks," ujarnya.

Dia mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film Monalisa Smile dan kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching assistant di University of Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa yang minta agar saya mengoreksi jawaban soalnya 15 tahun yang lalu itu? Benar! Kita adalah manusia dan tugas guru adalah mendidik manusia,memerdekakannya dari segala tekanan, dari perilakuperilaku buruk, dari pikiranpikiran negatif, dari rasa sok pintarnya yang sesungguhnya belum apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma, dan mengajaknya melihat keindahan dari apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu,yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak yang terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti parasut, yang artinya dia baru bisa dipakai kalau dia mengembang dan terbuka? Itulah yang saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan terbukti mereka mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya sharing-kan kepada para guru dan dosen. Sebagian orang cepat mengubah diri, tapi sebagian pendidik lain tidak peduli dengan cara ini. Mereka tetap ingin mengajar dengan cara-cara dogmatik. Ingin dipuja tanpa argumentasi,tak mau mendengarkan, takut dibilang lembek, dan ingin diterima bak seorang ulama besar yang tak terbantahkan. Itulah hidup, tak semua orang mau berubah. Namun Anda tak perlu cemas.

Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara suratsurat cinta mereka pun ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik sejati tak akan menyerah oleh ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi pada persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya.(*)


*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI

Selasa, 31 Januari 2012

Inspirasi "Gagal"


Peristiwanya tidaklah penting. Tapi, respon pada peristiwa itu adalah segala-galanya.
(I Ching).
Kegagalan menjadi teman akrab dalam kehidupan kita. Siapa yang merasa tidak pernah mengalami kegagalan dalam hidup ini satu kali pun? Hampir dipastikan tidak ada seorang pun …. Ada beragam sikap menghadapi kegagalan.


Sering dalam menghibur kawan yang gagal, kita melontarkan ucapan umum, seperti “kegagalan adalah sukses yang tertunda” atau “kegagalan adalah awal kesuksesan” dan sebagainya. Tentu saja, mantra positif itu diucapkan dengan tulus dan menambah semangat. Namun, kalimat itu sering kita pakai lantaran kita tidak tahu apa yang harus kita katakan. Jadi, sekadar menghibur.Sebenarny a, memiliki perbendaharaan dan frame positif tentang kegagalan merupakan salah satu benteng kokoh menghadapi serangan ‘virus kegagalan’ dalam hidup kita. Sejarah mempunyai 1001 bukti. Banyak tokoh dunia sukses bukan karena mereka tidak pernah gagal.


Tetapi, bagaimana mereka merespons, berpikir, bertindak, dan menyikapi kegagalan itulah yang justrumengantarkan mereka pada puncak kesuksesan. Jatuh bangun adalah proses biasa dalam meraih kesuksesan. Seperti puncak gunung tak akan dicapai tanpa melalui jalan naik-turun nan terjal. Bahkan, belukar dan kebuntuan jalan.Setiap dari kita, termasuk Anda, perlu memiliki sebuah perbendaharaan atau pun referensi yang bisa kita jadikan pegangan saat mengalami kegagalan. Winston Churchill, misalnya, ia mengaku doyan membaca biografi tokoh terkenal saat semangatnya sedang turun. Buku itu membuat semangatnya bangkit.


Ia merasa diteguhkan saat dirinya lemah dan tak berdaya.Tak heran, salah satu nukilan pidatonya yang populer Never give up bisa jadi berasal dari penggalian inspirasi buku-buku itu. Memang, semangat itu menular seperti layaknya kemalasan juga sering menular.Janganlah jemu menimba energi-energi positif dari banyak hal, termasuk dari bacaan. Kali ini, ada referensi menarik dari Joey Green dalam tulisannya berjudul The road to success is paved with failure. Tulisan Joey Green ini menjadi inspirasi penting untuk menghadapi kegagalan. Green berhasil menuliskan berbagai kisah maupun daftar orang yang sukses secara luar biasa setelah mengalami berbagai kekalahan pahit.


Di bidang bisnis, Joey Green memberi contoh kisah Walt Disney yang sempat saya singgung pekan lalu. Perusahaan animasi pertama Disney pernah pailit. Tapi, Disney mampu bangkit dan betapa besar bisnis hiburan yang ditawarkan dunia Disney sekarang ini. Ada juga Tom Monaghan. Dalam 20 tahun usahanya, ia bangkrut dua kali. Ia kehilangan hak kendali atas bisnisnya. Ia juga dituntut atas pelanggaran hak cipta. Namun, belakangan bisnisnya malahmeroket dengan Domino’s Pizza-nya. Ada lagi Fred Smith, orang yang hanya mendapat C dalam salah satu proyeknya di Yale saat menuliskan idenya tentang jasa pengiriman semalam. Tapi, nilai itu tidak sebanding dengan Federal Express,industri raksasa pengiriman barang yang mendunia. Padahal ide itu pernah diacuhkan oleh gurunya. Demikian juga perusahaan minuman Coca-Cola. Pada tahun pertama, Coca-Cola hanya mampu menjual 400 botol.


Tapi, sekarang Coca-Cola ada di mana-mana. Bahkan, tidak ada satu daerah pun yang tidak pernah kemasukan penetrasi Coca-Cola. Bahkan, gelombang Coca-Cola menjadi simbol nyata globalisasi yang sedang berlangsung. Alami penolakan Sementara itu, Chester Carlson mencoba temuannya ke sekitar 20 perusahaan pada tahun 1940-an. Setelah bertahun-tahun mengalami penolakan, ia berhasil meyakinkan Haloid, perusahaan kecil diRochester. Haloid kemudian menjadi salah satu perusahaan raksasa untuk mesin fotokopi elektrostatik bernama XEROX Corporation.


Ada lagi Henry Ford. Dalam tiga tahun pertama membangun bisnisnya di bidangotomotif, Ford bangkrut dua kali. Namun, kegigihannya membuatnya dikenal dengan simbol mobil-mobil mewah bergengsi. Selain di bidang bisnis, Joey Green memberi contoh di bidang kesusastraan, perfilman, olah raga, dan nyanyian. Sebut saja Elvis Presley.




Gurunya pernah memberinya nilai C dengan nada menghina saat ia duduk di L.C. Humes High School di Memphis. Guru itu mencap dirinya sama sekali tidak bisa bernyanyi. Tapi, kini Elvis Presley menjadi penyanyi legendaris. Ada Michael Jordan yang pernah ditolak saat mau bergabung dengan klub basket sekolahnya.Tapi, Jordan pun jadi ikon bola basket legendaris. Beatles juga pernah ditolak pada 1962 oleh dapur rekaman Decca, Pey, Philips, Columbia, dan HMV Labels. Juga Sigmun Freud yang buku karyanya hanya laku 600 buah dengan hanya mengantongi royalty US$250.


Tapi, Freud dikenang sebagai Bapak Psikologi ternama. Aktor Sylvester Stallone semasa kecil pernah dikeluarkan dari 13 sekolah dalam rentang 11 tahun. Profesornya di Universitas Miami mengolok-olok dirinya tidak berbakat akting. Ia juga manjadi bahan tertawaan saat memainkan peran di film Dog Day Afternoon, Serpico, dan The GodFather.


Naskah filmnya Rocky ditolak oleh nyaris semua perusahaan. Tapi, sebuah perusahaan menerimanya dengan syarat Stallone tidak boleh main di dalamnya. Ada lagi Rudyard Kipling. Ia pernah menulis cerita dan mengirimkannya ke sebuah surat kabar di California pada 1888. Tapi, sang editor menolak. “Maaf Mr. Kipling. Anda tampaknya tidak tahubagaimana menggunakan bahasa Inggris dengan baik,” kata editor itu. Belakangan, ia merupakan salah satu peraih nobel di bidang sastra pada 1907.Nah, masih banyak contoh lainnya.


Anda pun bisa melihat sendiri orang-orang serupa di sekitar Anda. Ada satu benang merah yang menarik. Saat Anda mengalami kegagalan, jangan kalang kabut. Janganbiarkan energi Anda habis terkuras hanya karena terbekap kegagalan. Sungguh sangat arogan jika kita selalu berharap semua berjalan mulus tanpa kendala. Ambillah medali kemenangan dari setiap kegagalan yang kita alami. Kita tidak mungkin sukses tanpa memiliki keberanianuntuk gagal.Lihatlah mereka yang sukses itu. Mereka melewati berbagai tantangan dan kesulitan dengan jiwa besar. Kegagalan paling buruk adalah mereka yang mencoba, lalu kalah dan menyerah.


Dag Hammarskjold pernah bilang, jangan pernah mengukur tinggi sebuah gunung sebelum Anda mencapai puncaknya. Karena, Anda kemudian akan melihat betapa rendahnya gunung itu. Tak ada kata menyerah!

Sumber: Belajar dari kegagalan oleh Anthony Dio Martin

Inspirasi "Zang Da"


Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki-laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar biasa. Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka, merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya. 


Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China . Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da. 


Mengikuti kisahnya di televisi, membuat saya ingin menuliskan cerita ini untuk melihat semangatnya yang luar biasa. Bagi saya Zhang Da sangat istimewa dan luar biasa karena ia termasuk 10 orang yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar manusia. Atau lebih tepatnya ia adalah yang terbaik diantara 140 juta manusia. Tetapi jika kita melihat apa yang dilakukannya dimulai ketika ia berumur 10 tahun dan terus dia lakukan sampai sekarang, dan satu-satunya anak diantara 10 orang yang luar biasa tersebut, maka saya bisa katakan bahwa Zhang Da yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar penduduk China.


Pada waktu tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. 


Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah. Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya. 


Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat.


Zhang Da Merawat Papanya yang Sakit.


Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggung jawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggung jawabnya sehari-hari.


Zhang Da menyuntik sendiri papanya.


Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan injeksi/suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri. 


Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi,  yang saya tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.


Aku Mau Mama Kembali.


Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, Pembawa Acara bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!” 


Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu” Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah!” demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap. 


Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.


Tidak semua orang bisa sekuat dan sehebat Zhang Da dalam mensiasati kesulitan hidup ini. Tapi setiap kita pastinya telah dikaruniai kemampuan dan kekuatan yang istimewa untuk menjalani ujian di dunia. Sehebat apapun ujian yang dihadapi pasti ada jalan keluarnya…ditiap-tiap kesulitan ada kemudahan dan Allah tidak akan menimpakan kesulitan diluar kemampuan umat-Nya. Jadi janganlah menyerah dengan keadaan, jika sekarang sedang kurang beruntung, sedang mengalami kekalahan…. bangkitlah!!! karena sesungguhnya kemenangan akan diberikan kepada siapa saja yang telah berusaha sekuat kemampuannya..

Senin, 30 Januari 2012

Inspirasi "Kekuatan Tekad"


Gedung sekolah desa yang kecil itu dipanasi oleh perapian batu bara kuno yang berbentuk belanga. Seorang anak laki-laki kecil bertugas untuk hadir pagi-pagi sekali di sekolah untuk menyalakan api serta menghangatkan ruangan sebelum guru dan teman-temannya masuk.

Pada suatu pagi gedung sekolah itu tertelan api. Anak laki-laki itu pingsan dan ia pun ditarik keluar dari bangunan yang terbakar itu, dalam keadaan setengah mati dan bukannya setengah hidup. Ia mengalami luka bakar yang parah di seluruh bagian bawah tubuhnya dan dibawa ke rumah sakit daerah yang terdekat.

Dari tempat tidurnya, si anak laki-laki yang terbakar secara mengerikan itu dalam keadaan setengah sadar sayup-sayup mendengar dokter berbicara kepada ibunya. Dokter memberitahu bahwa anak itu pasti akan mati, yang sesungguhnya merupakan hal yang terbaik, lantaran kebakaran hebat yang meluluhlantakkan bagian bawah tubuhnya.

Namun anak pemberani itu tidak ingin mati. Ia meneguhkan tekadnya untuk tetap bertahan hidup. Entah dengan cara bagaimana, hal yang mencengangkan dokter itu, ia terus hidup. Ketika bahaya maut itu berlalu, ia sekali lagi mendengar dokter dan ibunya berbicara dengan pelan. Ibunya diberitahu bahwa karena kebakaran itu menghancurkan begitu banyak daging di bawah tubuh anak itu, dapat dikatakan bahwa akan lebih baik jika ia mati, karena ia pasti akan lumpuh seumur hidup dan tak dapat memanfaatkan semua anggota tubuh bagian bawahnya.

Sekali lagi si anak pemberani itu mengeraskan tekadnya. Ia tidak akan lumpuh. Ia akan berjalan. Tetapi celakanya, dari pinggang ke bawah, ia tidak memiliki kemampuan bergerak. Kaki-kakinya yang kurus hanya terjuntai di sana, lengkap namun mati.

Akhirnya ia keluar dari rumah sakit. Lalu setiap hari ibunya memijat kakinya yang kecil itu, namun di sana tidak ada rasa, tidak ada kontrol, tidak ada apa pun. Namun niatnya untuk berjalan tetap sekuat dulu.

Hari-harinya menjemukan. Bila tidak sedang berada di tempat tidur, ia terkurung di kursi roda. Pada suatu hari yang cerah ibunya mendorong kursi rodanya keluar menuju halaman agar ia dapat menghirup udara segar. Hari itu, bukannya duduk terpaku di situ, ia melemparkan diri dari kursi roda. Ia menyeret dirinya sendiri melintasi rerumputan, menarik kedua kakinya di belakang tubuhnya.

Ia menyusuri jalannya menuju tiang pancang berwarna putih yang membatasi bidang tanah mereka. Kemudian, sedikit demi sedikit, ia mulai menyeret dirinya sendiri di sepanjang pagar itu, bertekad keras untuk berjalan. Ia mulai melakukan hal ini setiap hari sampai saat ia menggunakan jalan yang mulus di sekeliling halaman di sisi tiang pancang itu. Tak ada hal yang diinginkannya selain menghidupkan kedua kakinya.

Akhirnya melalui pijatan setiap hari, tekad bajanya dan keteguhan hatinya, ia benar-benar mengembangkan kemampuannya untuk berdiri, kemudian untuk berjalan tertatih-tatih, lalu untuk berjalan sendiri, dan kemudian untuk berlari.

Ia mulai berjalan ke sekolah, kemudian berlari ke sekolah, berlari demi kegembiraan besar yang diperolehnya dari berlari. Kemudian di universitas ia membentuk tim lari.

Bahkan selanjutnya di Madison Square Garden pemuda yang diduga tidak bakal hidup itu, yang tidak pernah dapat berharap untuk bisa berlari, pemuda yang keras hati ini, Dr. Glenn Cunningham, memecahkan rekor dunia lari untuk jarak 1500 meter.


Burt Dubin
Editor: Jack Canfield, Mark Victor Hansen; "Chicken Soup for the Soul"

Jumat, 27 Januari 2012

Cerita Inspirasi : Tidak Ada Yang Tak Mungkin


ku adalah seorang mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Universitas California. Beberapa waktu lalu, aku pernah menulis surat yang berisi cerita cerita terima kasih kepadaorang tua ku, dan ketika aku memutuskan untuk memperlihatkannya pada dunia, ternyata cerita inspirasi tersebut mendapatkan tanggapan yang luar biasa dari orang-orang di Eropa, India, Singapura, Amerika, dan Indonesia. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih atas semua respon yang aku dapat atas surat tersebut.

30 April 2010.
Setelah penantian yang panjang dan mendebarkan, akhirnya kelulusan itu pun diumumkan. Aku diterima di Haas School of Business, University of California Berkeley. Hal ini sebuah pencapaian dan kebanggaan yang luar biasa bagiku dan juga kedua orang tuaku, pencapaian ini adalah hasil kerja keras yang telah aku lakukan selama 2 tahun terakhir ini.

5 tahun yang lalu, tidak seorang pun, bahkan tidak juga orang tuaku, guru-guru dan teman-temanku yang berpikir bahwa aku dapat masuk ke dalam salah satu dari 10 sekolah bisnis terbaik di Amerika, apalagi Berkeley Haas School of Business. Saat ini, sekolah ini menduduki peringkat ke-2 di Amerika berdasarkan Best Colleges Specialty Rankings: Best Undergraduate Business Programs.

5 Tahun lalu, “Nilai A” hanyalah sebuah mimpi bagi anak sekolah biasa seperti aku. Sebagian besar nilai-nilaiku di sekolah adalah C, diikuti dengan B kecil, dan D.  Cara belajar ku sangat kacau. Di sekolah menengah, aku hanya menempati peringkat 186 dari 198 siswa. Yang berarti aku masuk 10% peringkat terbawah dari seluruh sekolah.

Beruntungnya, aku punya orang tua yang mampu menginspirasi dan mengubahku. Aku masih dapat mengingat dengan jelas kejadian di malam itu. Waktu itu, aku pulang ke Indonesia dan berada di kamar orang tuaku. Kedua orang tuaku duduk di tepi tempat tidur dan aku duduk di lantai. Mereka benar-benar terlihat kecewa. Malam itu, mereka mulai membuatku berpikir mengenai apa yang aku inginkan bagi masa depanku. Mereka tidak memarahiku, tidak berteriak kepadaku, dan juga tidak memukulku. Mereka hanya memperlihatkan kekecewaan atas buruknya prestasiku di sekolah.

Bagi orang tuaku, pendidikan sangatlah penting demi masa depan. Sebagai orang tua, mereka telah terus-menerus memperingatkan aku untuk belajar. Tetapi, jarak telah memisahkan kami -  aku tinggal di Singapura bersama kakak-kakakku, sedangkan orang tuaku tinggal di Indonesia untuk menjalankan bisnisnya. Hal ini tentu saja membuat kedua orang tuaku kesulitan untuk mengawasi kami.

Dengan komunikasi yang hanya melalui telepon dan sms, tentu sulit bagi kedua orang tuaku untuk mengetahui apakah aku “benar-benar belajar” jika aku berkata sedang “belajar”. Sulit bagi mereka untuk mengetahui bahwa “benar-benar tidak ada ujian” jika aku bilang “tidak ada ujian”, dan apakah aku benar-benar “tidak sedang main game” jika aku bersikeras berkata tidak sedang bermain game komputer. Mereka benar-benar tidak tahu cara belajar yang aku terapkan.

Aku kembali ke kamarku dan mulai membayangkan hidup seperti apa yang telah aku jalani. Lalu aku teringat Jerry, kakak tertuaku yang sekitar 20 tahun lalu menderita kanker. Ia masih sangat kecil waktu itu,  usianya baru 2 tahun. Sayangnya, saat itu kedua orang tuaku tidak berkecukupan. Maka demi kelangsungan hidup kakakku, kedua orangtuaku menjual rumah, mobil dan segala yang mereka miliki untuk biaya berobat Jerry. Bahkan, setelah mengusahakan segala upaya dan telah kehilangan banyak harta benda, orang tuaku pun masih harus menghadapi kenyataan hilangnya anak pertama mereka.

Tetapi hal itu tidak pernah membuat kedua orang tuaku menyerah. Mereka memang pernah mengalami masa-masa hancur dan sedih. Dan, yang menakjubkan adalah mereka mampu kembali percaya diri, tekun, dan optimis  memulai hidup baru.
Ayahku adalah seorang lulusan MBA dan ibuku bergelar sarjana. Tetapi mereka pernah menjadi pengangguran dan miskin. Mereka harus mau berjalan jauh untuk menjual teh botol dan makanan kecil di pasar demi memenuhi kebutuhan hidup. Tidak lama kemudian, mereka mulai membuka warung makan dan tetap yakin bahwa mereka akan mendapatkan masa depan yang lebih cerah.

Kini, setelah bertahun-tahun, akhirnya mereka memiliki bisnis yang sukses dan mampu mengirim ketiga anak mereka ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Jika saja saat itu orang tuaku mengakui kekalahan mereka dan menyerah, tentunya saat ini aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk kuliah, atau tinggal dibawah atap rumah yang terbuat dari batu bata, atau memiliki sebuah mobil untuk dikendarai.

Jika saja orang tuaku menyerah, aku pasti akan tinggal di jalan dan mencari-cari cara untuk tetap bertahan hidup seperti pemandangan khas yang sering ditemui di jalanan kota-kota besar di Indonesia. Pada saat kakakku Jerry meninggal, mereka hampir tidak memiliki apapun, tidak ada uang, mobil, ataupun rumah.  Tidak satu pun! Kecuali semangat dan dorongan untuk berubah.

Ayah… ibu… jika bukan karena kalian berdua yang mengubah hidup anakmu, mungkin aku tidak akan pernah mempunyai kesempatan hidup berkecukupan. Sekarang, aku tidak perlu lagi berpikir tentang makanan, bahkan orang tuaku memberikan sebuah mobil dan menyediakan pendidikan terbaik untukku.

Inilah yang menjadi alasan mengapa sekitar 3 tahun setelah aku berada di peringkat 10% terbawah di sekolah menengah, aku datang ke perguruan tinggi di Amerika dengan prinsip bahwa tidak ada hal yang mustahil. Memang, “tidak ada hal yang mustahil” adalah kata-lata yang usang, namun jika mengingat cerita orang tuaku yang berhasil bangkit setelah keterpurukan, maka kata-kata itu bisa dipercaya. Aku mulai mengubah diri dan mempunyai satu tujuan agar dapat diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia untuk menunjukkan rasa terima kasihku kepada orang tua.

Aku sama sekali tidak gentar walau hanya 6,8% dari pendaftar yang akan diterima menjadi anak sekolah di Haas School of Business, dan keinginan yang luar biasa untuk sukses menjadi salah satu faktor yang membuatku menjadi satu dari tujuh orang yang diterima untuk setiap 100 orang pendaftar.

Dan sekarang aku ingin mendedikasikan pengakuanku ini kepada orang tuaku. Orang tua yang paling hebat yang telah mengubah hidupku. Aku tidak tahu akan menjadi apa jika tanpa mereka berdua. Terima kasih Ayah. Terima kasih Ibu. Aku berhutang sangat banyak kepada kalian dan aku tidak dapat membayangkan apakah aku mampu untuk membalasnya.

Kepada para sahabat yang sedang membaca CeritaInspirasi.net , ingatlah bahwa keadaan yang kita miliki sekarang tidaklah mencerminkan apa yang akan terjadi di masa depan. Seperti yang terjadi pada diriku. Aku mampu menjadi salah satu yang terbaik walaupun aku pernah berada di peringkat terbawah. Aku yakin, semua itu membutuhkan dorongan dan ketekunan, sama seperti seorang yatim piatu yang kukenal – yang berhasil menduduki peringkat 5% teratas dari kelasnya, padahal ia tidak memiliki meja atau kursi, atau bahkan kebutuhan sekolah yang memadai. Ia hanya memiliki semangat yang membara untuk mengubah masa depannya.

Berjanjilah kepada diri sendiri untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah!
——————————
Great Thanks for Leonhartono (leonhartono@berkeley.edu) yang telah bersedia membagi pengalamannya pada CeritaInspirasi.net ..  Semoga bisa menjadi cerita inspirasi bagi sahabat-sahabat semua.. ^^